Ensiklik Paus Fransiskus dan Transformasi Sosial

Sumber dari tulisan A. Prasetyantoko “Paus Fransiskus, Transformasi Sosial dan Peran Perguruan Tinggi” Paus Fransiskus, sepanjang kepemimpinannya, dengan konsisten mengadvokasi transformasi masyarakat yang menyeluruh, mulai dari perubahan sikap dan perilaku individu hingga reformasi sistem sosial yang lebih luas. Dirinya menciptakan Laudato si’. Ensiklik Laudato si’ menghubungkan krisis lingkungan dengan masalah-masalah sosial yang lebih luas. Kerusakan lingkungan terjadi sebagai dampak dari perilaku manusia. Kelalaian dalam melaksanakan pembangunan dan konsumsi berlebihan dalam kehidupan sehari-hari, telah mengakibatkan kerusakan lingkungan. Dampaknya, kita semua, tanpa terkecuali, kini harus menanggung beban perubahan iklim yang semakin parah. Laudato si’ mengungkap bahwa kerusakan lingkungan yang kita hadapi saat ini adalah hasil dari eksploitasi manusia yang berlebihan terhadap alam, bukan proses alami yang tak terhindarkan.
Dilema Fiskal & Moneter Pasca Covid-19

Diambil dari tulisan A. Prasetyantoko “Geo-politik dan Perubahan Iklim: Tantangan Fiskal-Moneter Pasca Pandemi Covid-19” Pandemi Covid-19 telah menghasilkan perubahan drastis yang berdampak pada kondisi dunia. Polikrisis yang terjadi akibat pandemi telah menjadi katalisator pergeseran signifikan dalam arah kebijakan ekonomi. Di bidang moneter, independensi bank sentral menemui tantangan yang sebelumnya tidak ditemui. Pra pandemi Covid-19, kebijakan moneter bersifat dominan dan memiliki independensi yang sangat tinggi. Bank sentral pun dapat dengan leluasa mengendalikan suku bunga. Sementara pasca pandemi Covid-19, didominasi dengan kebijakan fiskal. Tingginya beban utang pemerintah juga menyulitkan Bank Sentral untuk menaikkan suku bunga. Hal ini diyakini menjadi alasan mengapa The Fed terlambat menaikkan suku bunga sehingga inflasi tak terkendali. Selain geo-politik, perubahan iklim yang terjadi sebagai akibat dari pandemi Covid-19 juga berdampak pada perekonomian. Perubahan iklim menciptakan hambatan signifikan bagi pertumbuhan ekonomi, baik melalui penurunan permintaan akibat ketidakpastian dan penurunan daya beli, maupun melalui penurunan penawaran akibat gangguan pada produksi dan ketersediaan sumber daya. Ke depannya, kebijakan fiskal dan moneter perlu dikoordinasikan agar mencapai kebijakan ekonomi yang lebih siap menghadapi perubahan struktural.
Kuasa dan Pengaruh Jokowi Mulai Memudar

Diambil dari hasil wawancara Yoes Kenawas melalui artikel The Jakarta Post, “Jokowi’s influence shows signs of waning” Dengan sisa masa jabatan kurang dari satu bulan, Jokowi mulai mengalami berbagai kemunduran politik yang merupakan akibat dari pemudaran kuasanya. Pukulan telak dialami Jokowi melalui protes rakyat pada Agustus 2024 lalu yang berhasil memberhentikan upaya lembaga legislatif untuk mengubah persyaratan usia kandidat yang akan memungkinkan putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah pada bulan November. Para peneliti menyampaikan bahwa gagalnya upaya dalam mengubah peraturan pemilu merupakan kemunduran yang signifikan bagi Jokowi, yang, terlepas dari popularitasnya, tidak dapat melawan kehendak rakyat. “Jokowi mungkin telah berhasil melaksanakan berbagai rencananya dengan cukup lancar di masa lalu, tetapi ada batasan atas apa yang bisa ia lakukan, terlepas dari besarnya pengaruh yang ia miliki.” ucap Yoes Kenawas, peneliti IFAR Unika Atma Jaya. Ketidakikutsertaan Kaesang dalam pilkada bulan November mengindikasikan bahwa Jokowi, yang sebelumnya mampu memastikan pengesahan dari hampir semua undang-undang yang dia inginkan, sekarang merasakan pengaruhnya menurun, karena dari delapan partai dalam koalisi yang berkuasa, tampaknya sudah tidak lagi berada di bawah komandonya.
Jokowi Dikritik, Prabowo Cari Aman

Di tengah protes yang ditujukan kepada Jokowi dan keluarganya, Prabowo telah berhasil menghindari kritik. Presiden terpilih, Prabowo Subianto, condong bersisi kepada para pemrotes yang menjunjung demokrasi juga konstitusi di Indonesia pada demo yang berlangsung pada 26 Agustus 2024 lalu. Menurut para analis, hal ini dilakukan Prabowo guna mengambil hati dan dukungan publik yang akan menguntungkannya saat menjabat sebagai Presiden nanti. Dikarenakan skala protes yang berlangsung cukup besar, hal ini menjadi kekhawatiran bagi Prabowo yang akan memulai masa jabatannya. Prabowo tidak ingin memulai masa kepresidenan dengan perlawanan yang kuat terhadapnya, menurut Yoes C. Kenawas, analis politik dari IFAR Unika Atma Jaya. Sebagian besar kemenangan Prabowo adalah karena tacit support dari Jokowi. Dukungan bagi Prabowo melonjak saat putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, bergabung pada pencalonannya. Terlepas dari hal ini, para analis memperkirakan bahwa Prabowo pada akhirnya akan pergi dari bayangan Jokowi. Prabowo akan ingin mengejar janji-janji kampanyenya sendiri alih-alih melanjutkan kepemimpinan Jokowi. Prabowo akan menghadapi tantangan dalam menjaga hubungannya dengan Gibran. Wakil Presiden terpilih kemungkinan besar akan memprioritaskan kepentingan politik keluarganya dan meneruskan warisan bapaknya. Jika hubungan ini tidak dijaga, hal ini dapat mempengaruhi kesempatan Prabowo dalam Pilpres 2029 nanti.
Dominasi Dinasti Politik di Indonesia

Situasi darurat demokrasi di Indonesia semakin mengkhawatirkan dengan menjamurnya dinasti politik yang menguasai berbagai level pemerintahan. Praktik ini mengancam prinsip-prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi keadilan, kesetaraan, dan partisipasi masyarakat. Yoes C. Kenawas, research fellow IFAR UAJ, mempresentasikan artikelnya yang berjudul Darurat Demokrasi: Menjamurnya Dinasti Politik di Indonesia sebagai respons lanjutan terhadap upaya DPR dan pemerintah yang ingin mengubah RUU Pilkada yang, jika diloloskan, memberikan karpet merah bagi Kaesang untuk mencalonkan diri dan kartel partai politik untuk memonopoli pencalonan dalam pilkada. Pada 25 Agustus 2024 lalu, Yoes C. Kenawas, research fellow IFAR UAJ, berkesempatan berpresentasi pada forum Diskusi Akademik yang berjudul “Apakah Meritokrasi Bisa Bertahan di Tengah Dinasti Politik?” Forum ini diadakan oleh Chevening Alumni Association Indonesia yang bekerja sama dengan Nalar Institute.
Indonesian Election Candidates in Their Quest for Voters Support

Diambil dari artikel The Straits Times “Indonesia’s election candidates woo voters with road rage car whisperers, football fervour, money” oleh Arlina Arshad Menjelang masa kampanye pemilihan kepala daerah yang akan dimulai pada 25 September 2024 mendatang, para kandidat pilkada mulai mengasah pisau politik dan menguras kantong mereka. Salah satunya Ridwan Kamil, calon gubernur Jakarta, yang telah menjanjikan untuk menyediakan terapis dan ulama yang akan mampir untuk meredakan rasa frustrasi masyarakat selama menanti kemacetan, disebutnya sebagai Mobil Curhat. Gagasannya ini tidak mendapatkan tanggapan baik dari masyarakat. Dr Yoes Kenawas, research fellow IFAR Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, menyampaikan bahwa meskipun kebijakan populis tampak menarik, kebijakan tersebut gagal mengatasi masalah mendasar, sehingga berpotensi menimbulkan hasil yang tidak efektif atau bahkan kontraproduktif.
How Has Jokowi Changed Indonesia?

Sumber dari artikel Australian National University “2024 Indonesia Update: How Jokowi changed Indonesia.” Selama 10 tahun menjabat sebagai Presiden Indonesia, untuk mencapai target kebijakan di berbagai sektor, Jokowi telah mendorong lembaga-lembaga negara hingga batas kemampuannya, mengungkap baik kelemahan maupun kekuatan aturan, peraturan, dan norma demokrasi Indonesia. Dapat diakui bahwa Jokowi telah mengalami evolusi yang luar biasa. Berawal sebagai orang sederhana dengan pengaruh yang kecil hingga sekarang menjadi seorang tokoh berpengaruh yang kuat. Namun, kritik menganggap bahwa Jokowi telah menyerang pendekatan koersif pemerintahnya terhadap lawan-lawan politik, dan pengejarannya terhadap visi ekonomi yang besar dengan mengorbankan kebebasan demokratis dan integritas kelembagaan. Untuk menjawab pertanyaan: Sejauh apa Jokowi telah mengubah Indonesia? para ahli dari Australia, Indonesia, dan seluruh dunia akan bergabung dalam The Indonesia Update Conference pada 13-14 September 2024. Diselenggarakan oleh The Australian National University’s Indonesia Project, dengan dukungan dari ANU Department of Political and Social Change, juga the Department of Foreign Affairs and Trade, konferensi ini akan membahas jejak yang ditinggalkan Jokowi terhadap ekonomi, kesejahteraan, politik, keamanan, lingkungan, dan hubungan internasional di Indonesia.
Thousands of Indonesians Attempt to Storm Parliament to Protest Changes to Election Law

Sumber dari hasil wawancara Yoes C. Kenawas dengan Associated Press, diambil dari artikel AP News “Ratification of Indonesian election law changes delayed as protesters try to storm parliament” oleh Dita Alangkara dan Edna Tarigan. Ribuan pengunjuk rasa menyerbu gedung DPR, Jakarta pada hari Kamis, 22 Agustus 2024 sebagai tanggapan atas usulan perubahan undang-undang pemilu yang dapat menguntungkan keluarga Presiden Joko Widodo. Perubahan tersebut meliputi penurunan persyaratan usia untuk gubernur daerah dan pelonggaran persyaratan pencalonan untuk partai politik. Protes tersebut dipicu oleh putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak gugatan atas batasan usia. Putusan tersebut akan mencegah putra Widodo yang berusia 29 tahun untuk mencalonkan diri sebagai gubernur daerah. Pengadilan juga mempermudah partai politik untuk mencalonkan kandidat dengan memangkas persyaratan bahwa mereka memegang 20% kursi legislatif daerah. Parlemen meloloskan mosi darurat untuk mengubah usia minimum untuk menjabat sebagai gubernur menjadi 30 tahun pada saat pelantikan dan lebih memudahkan persyaratan pencalonan pada hari Rabu, dan berencana untuk meratifikasi pemungutan suara dalam sidang pleno pada hari Kamis. Pergerakan tersebut memicu kecaman luas di media sosial lokal dan menimbulkan kekhawatiran tentang potensi krisis konstitusional. Aktivis, mahasiswa, pekerja, dan sejumlah selebriti serta musisi Indonesia juga turut serta dalam aksi protes tersebut, menyuarakan keprihatinan mereka terhadap demokrasi di Indonesia. Aksi protes juga dilaporkan terjadi di kota-kota besar lainnya, termasuk Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar. Aksi unjuk rasa yang terjadi serentak di sejumlah kota besar itu merupakan bentuk kemarahan atas upaya DPR untuk “membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi yang memperbolehkan lebih banyak calon untuk ikut serta dalam pemilihan kepala daerah“, kata Yoes Kenawas, pengamat politik Universitas Katolik Atma Jaya. “Mereka juga menentang politik dinasti yang dilakukan Presiden Jokowi,” ucap Kenawas.
The State of Indonesia’s Democracy: Between Competitive Authoritarianism and Dynastic Democracy

The State of Indonesian Democracy Workshop diselenggarakan atas kerja sama dengan Southeast Asia Program, Modern Indonesian Project, dan Cornell’s Einaudi Center for International Studies, dengan dukungan tambahan dari Department of Government dan Brooks School of Public Policy di Cornell University, Ithaca, US. Workshop ini mempertemukan para akademisi dari seluruh dunia yang memiliki spesialisasi di bidang politik kontemporer Indonesia untuk mendiskusikan kondisi demokrasi Indonesia, dengan penekanan khusus pada peristiwa dan dinamika yang terkait dengan pemilu 2024. Yoes C. Kenawas, research fellow Institute for Advanced Research Unika Atma Jaya, mempresentasikan artikelnya yang berjudul “The State of Indonesia’s Democracy: Between Competitive Authoritarianism and Dynastic Democracy.” Artikel ini berargumen bahwa setelah pemilu 2024, ada dua cara untuk menilai demokrasi di Indonesia. Pertama, Indonesia telah menunjukkan berbagai gejala otoritarianisme kompetitif yang mana daya saing demokrasi Indonesia terkikis akibat berbagai intervensi kekuasaan yang mengubah keseimbangan arena permainan. Lalu kedua, dengan berfokus pada aktor, Indonesia juga telah menunjukkan gejala demokrasi dinasti.
Systemic Change or Systemic Fail? Indonesia’s Youth Demand Action

Sumber dari artikel Fulcrum “The Battle for Indonesia’s Environmental Future: Youth Movements Against Systemic Challenges” ditulis oleh Aninda Dewayanti|Muhammad Fajar Terlepas dari meningkatnya protes yang dipimpin oleh kaum muda yang menentang proyek-proyek yang merusak lingkungan, pemerintah Indonesia terus memprioritaskan pembangunan ekonomi di atas perlindungan lingkungan, dan sering kali bekerja sama dengan pihak-pihak bisnis yang kuat. Di beberapa negara, gerakan para aktivis muda dalam mendorong pemerintah untuk mengurangi karbon emisi telah berhasil. Namun, di Indonesia, berbagai gerakan dan protes yang dipimipin oleh para aktivis muda berjalan lambat dan tidak stabil karena dominasi hubungan negara-oligarki. Tiga faktor utama yang menyebabkan hal ini antara lain; pertama, ikatan kuat antara negara Indonesia dan oligarki telah menciptakan hambatan sistematis terhadap aktivisme lingkungan. Kedua, alih-alih fokus pada masalah lingkungan secara besar, para aktivis muda lebih sering memperjuangkan masalah lingkungan di daerah mereka sendiri. Ketiga, para aktivis kesulitan membangun infrastruktur yang kuat dalam organisasi mereka. Struktur yang terbuka dan fleksibel dalam organisasi, menghambat kelompok-kelompok aktivis muda untuk menanamkan komitmen yang lebih mendalam terhadap tujuan mereka.