Mendobrak Kelambanan Birokrasi
Menyikapi polemik hebat soal Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang sudah disahkan DPR pada 5 Oktober lalu. Ekonom sekaligus Rektor Unika Atma Jaya Dr. A. Prasetyantoko mengatakan ada dua hal yang menjadi fokus perdebatan, yaitu soal proses penyusunan dan substansinya. Dari sisi proses, kritik tertuju pada dinamika yang dianggap tertutup dan terlalu cepat untuk sebuah kerangka perundangan yang sedemikian luas dan kompleks. Sementara, dari sisi substansi, ada beberapa titik perdebatan seperti perlindungan pekerja dan lingkungan yang berkurang, serta kembalinya otoritas kebijakan pada pemerintah pusat (resentralisasi). Selain dua hal tersebut, Dr. A. Prasetyantoko juga mengungkapkan bahwa polemik tersebut menjurus pada urgensinya. “Jika tujuannya meningkatkan investasi, masalah korupsi lebih krusial dibereskan daripada meluncurkan RUU Cipta Kerja. Selain itu, Indonesia merupakan salah satu negara destinasi utama investasi asing selama ini. Kita sama sekali tak kekurangan investasi, mengapa perlu upaya ekstra meningkatkannya? Begitu berbagai gugatan mengalir deras pada urgensi UU Cipta Kerja ini,” jelasnya. Ia menambahkan, mungkin saja perdebatan selanjutnya adalah mengapa perlu perubahan peraturan sebanyak itu sehingga muncul berbagai pasal yang cenderung merugikan berbagai pihak. Ini dilema lain yang juga harus dijawab secara nyata. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 dan 3, tujuan RUU Cipta Kerja adalah menciptakan lapangan kerja (pertama-tama) melalui pemberdayaan koperasi dan unit usaha mikro, kecil, dan menengah. Tentu ada banyak pasal terkait investasi strategis yang nilainya besar dan melibatkan investor (asing) besar pula. Meski begitu, anggapan RUU Cipta Kerja hanya berorientasi mendatangkan investasi (asing) berskala besar tak sepenuhnya valid. Relaksasi dan transformasi Harus diakui, semangat UU Cipta Kerja adalah melakukan relaksasi di berbagai bidang secara komprehensif dan cepat. Keyakinan umum di mana-mana tentang cara paling cepat meningkatkan produktivitas dan daya saing adalah melalui relaksasi atau liberalisasi. Dengan relaksasi diyakini akan menarik lebih banyak investasi sehingga lebih banyak kesempatan kerja tercipta. Para pendukung RUU Cipta Kerja menyakini, jika proteksi pada pekerja menurun, proteksi terhadap pekerjaan itu meningkat. Tentu saja dari kaca mata pekerja, argumen ini ganjil. Sebab, mereka yang harus menanggung efek negatifnya. Bisa dipahami jika para pekerja tak rela kualitas hidupnya menurun, meskipun demi kesempatan kerja yang lebih luas (bagi orang lain) di masa depan. Oleh karena itu, perlu kompromi atas dilema seperti ini. Namun, tampaknya ada banyak dilema lain di berbagai aspek dalam aturan seluas ini. Dr. A. Prasetyantoko menjelaskan ada dua cara untuk keluar dari aneka dilema ini. Pertama, perlu pemetaan komprehensif dengan mengundang partisipasi berbagai pihak guna merumuskan aturan turunan yang optimal. Kedua, perlu akselerasi kerja birokrasi agar lebih responsif, baik dalam menampung masukan maupun merancang kebijakan lanjutannya. “Kalaupun RUU Cipta Kerja ini bisa begitu saja disahkan, tanpa penolakan dan proses hukum di Mahkamah Konstitusi, tak serta-merta persoalannya selesai. Persoalannya justru baru dimulai karena kuncinya ada di fase implementasi. Berbagai upaya relaksasi hanya akan relevan jika peta jalan transformasinya dijabarkan,” kata Rektor Unika Atma Jaya tersebut. Lebih lanjut, Dr. A. Prasetyantoko menjelaskan soal pengurusan izin investasi satu pintu melalui perizinan terintegrasi secara elektronik (Online Single Submission/OSS), misalnya. Meskipun sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah No 24/2018, dalam implementasinya masih banyak kendala sehingga hasilnya belum maksimal. “Mekanisme yang diharapkan meningkatkan minat berinvestasi di Indonesia ini tak serta-merta membuahkan hasil. Tentu saja, investasi tak sekadar dipengaruhi kemudahan administrasif, tetapi juga faktor fundamental lainnya. Namun, fakta ini perlu menjadi pelajaran, agar omnibus law tak bernasib serupa; relaksasi tak diikuti transformasi,” katanya. Terlepas masih banyaknya pasal yang konsensusnya belum tercapai, ada (lebih) banyak pasal lain yang valid segera ditindaklanjuti. Sebagai contoh, relaksasi pendirian koperasi primer yang hanya memerlukan 9 orang dari ketentuan sebelumya 20 orang. Juga relaksasi perizinan pendirian Perseroan Terbatas (PT) serta Usaha Mikro Kecil (UMK) yang praktis tak memerlukan izin, cukup dengan pemberitahuan. RUU Cipta Kerja cukup rinci mengatur penguatan UMK, mulai dari penyatuan data, insentif fiskal hingga kewajiban pendampingan oleh pemerintah dan dunia usaha. Dr. A. Prasetyantoko mengatakan, berbagai pasal peningkatan kapasitas dan pemberdayaan UMK merupakan salah satu bagian pokok dari UU Cipta Kerja dalam rangka melakukan transformasi ekonomi. Oleh karena itu, kalaupun masih banyak pasal yang dianggap kontroversial, sepertinya tak perlu membatalkan seluruh konstruksi hukumnya. Meski upaya hukum masih terbuka lebar, diperlukan konsensus agar transformasi ekonomi melalui peningkatan produktivitas dan daya saing tetap bisa diakselerasi. Di lain hal, Dr. A. Prasetyantoko juga mengatakan bawa perlu konsistensi agar RUU Cipta Kerja tak bias kepentingan investor besar. “Diperlukan langkah nyata mewujudkan transformasi ekonomi domestik melalui pemberdayaan UKM. Relaksasi harus ditindaklanjuti dengan upaya transformasi yang terarah. Jika tidak, hanya akan menjadi liberalisasi yang menguntungkan pelaku besar saja. Jika hal itu terjadi, keberatan utama berbagai pihak selama ini menemukan kebenarannya,” ungkapnya. Ia berharap agar jangan sampai kinerja birokrasi justru menggerogoti legitimasi kerangka perundangan yang secara normatif sulit dibantah lebih banyak pihak di negeri ini.
Turunnya Kualitas Demokrasi Indonesia: Perspektif Politik Lokal

Analisis beberapa ilmuwan politik yang mempelajari dinamika politik di Indonesia menunjukkan bahwa kualitas demokrasi Indonesia semakin rendah dalam empat tahun terakhir. Meningkatnya konservatisme, serta penerapan beberapa peraturan hukum yang bersifat mengekang kebebasan sipil yang disertai reaksi keras pemerintah terhadap gerakan-gerakan masyarakat sipil, dituding sebagai penyebab menurunnya kualitas demokrasi di Indonesia. Akan tetapi, pendapat tersebut terlalu fokus pada dinamika politik di Jakarta. Lebih lanjut, mereka seakan abai terhadap dinamika politik di level subnasional yang juga memainkan peran penting dalam menurunnya kualitas demokrasi di Indonesia. Institute of Public Policy Unika Atma Jaya akan mengadakan Brownbag Discussion dengan, Yoes C. Kenawas (Kandidat Doktor Ilmu Politik, Northwestern University) sebagai Pembicara yang akan memaparkan beberapa temuan sementara dari penelitian lapangannya yang menunjukkan bahwa menurunnya kualitas demokrasi di Indonesia tidak terlepas dari dinamika politik di tingkat lokal. Pembicara dan Pembahas: 1. Yoes Chandra Kenawas (IPP Research Fellow, Kandidat Ph.D, Northwestern University, U.S.A.) 2. Pembahas: Dr. Kurniawati Hastuti Dewi S.IP, MA. (Peneliti Senior LIPI) 3. Moderator: Edbert Gani Suryahudaya (Peneliti Politik) Lokasi: Gedung K2, Ruang K202 Kampus Semanggi , Unika Atma Jaya Tanggal: Senin, 10 Februari 2019 Waktu : 14.00-16.00WIB http://bit.ly/BrownbagPolitikLokal
Pandemi Covid-19 dan Siklus Ekonomi

Pada 17 Maret, A. Prasetyantoko menulis tentang Pandemi Covid-19 yang sedang terjadi dan dampaknya terhadap siklus ekonomi. Selengkapnya dapat dibaca di https://kompas.id/baca/opini/2020/03/17/pandemi-dan-siklus-ekonomi/ atau, dapat dilihat dibawah ini.
Book Review, Power and Knowledge in Southeast Asia: State and Scholars in Indonesia and The Philippines

This book analyzes comparatively the dynamics of the state-scholar relations during the Marcos and Suharto years in the Philippines and Indonesia as evident in two official history-writing projects: Marcos‘s Tadhana project and Suharto regime‘s Sejarah Nasional Indonesia (SNI). This book argues that the participation of scholars in these projects merely formalizes and renders explicit the transactional encounters happening on daily basis between knowledge of any ideological disposition, type or level of accuracy, on the one hand, and their respective consumers, on the other. Organizers: Atma Jaya Institute of Public Policy, AIFIS (American Institute for Indonesian Studies) dan CSEASI (Center for Southeast Asian Studies-Indonesia) Event details: 1. Rommel A. Curaming, Ph.D (Universiti Brunei Darussalam) 2. Discussant: Yosef Djakababa Ph.D (AIFIS Country Representative 3. Moderator: Yoes Chandra Kenawas (IPP Research Fellow, Ph.D Candidate, Northwestern University, U.S.A.) Location: Yustinus Building 14th fl -1408 Semanggi Campus, Atma Jaya University Date : Monday, 9 December 2019 Time : 16.00-18.00 WIB Online registration: tiny.cc/powerandknowledge
Political Corruption & Sophistication, Voting & Its Relation w/ Gov. Policy ft. IPP Unika Atma Jaya

13/11/2019 A few weeks ago, a polemic rose in the society regarding the new Law of KPK. The new Law contains a controversial article regarding the formation of a new board of trustees to oversee the KPK‘s works, including monitoring the tapping mechanism. Civil societies rejected this article because it will jeopardize the KPK impartiality in carrying out its duties. Corruption Indonesia is indeed a perennial and complicated problem for the country. What are the causes of corruption? Why does corruption persist? How can corruption affect public policies? Atma Jaya Institute of Public Policy Brownbag Discussion aims to answer these questions. In the upcoming Brownbag Discussion, Professor Mathew Winters of the University of Illinois at Urbana-Champaign (IL, USA) will present his research on corruption. He will provide some insights into the effect of corruption on a country‘s public policies. Event details: 1. Matthew Winters – Associate Professor of Politics, the Department of Political Science, the University of Illinois at Urbana-Champaign 2. Indro Adinugroho – Research fellow at IPP Atma Jaya (Moderator) Location: Gedung Yustinus Lantai 14-1408 Semanggi Campus, Atma Jaya University Date : Wednesday, 27 November 2019 Time : 13.00-15.00 WIB Online registration: http://bit.ly/BrownbagMatthewWinters
Ruang Tengah Edisi 3: Kebebasan Berpendapat: Apakah Tingkat Kebebasan Berpendapat di Indonesia Sedang Terancam

31/10/2019 Jakarta – 30 Oktober 2019. Bekerjasama dengan Think Policy Society dan Asumsi, IPP Atma Jaya mengangkat isu tentang Kebebasan Berpendapat. Hal ini dilatarbelakangi oleh kejadian dua bulan menjelang berakhirnya periode kepemimpinan Jokowi-Jusuf Kalla, masyarakat dibuat gaduh dengan adanya RUU yang tiba-tiba direncanakan akan disahkan para anggota legislatif bekerja sama dengan lembaga eksekutif. Ada beberapa RUU yang menimbulkan kontroversi, seperti: RUU KPK, RKUHP, RUU Ketenagakerjaan, RUU Pertahanan, RUU Ketahanan dan Keamanan Siber, dan lainnya. Malahan, RUU KPK terlanjur lolos disahkan dan sudah mulai berlaku sejak 17 Oktober 2019. Kembali pada September 2019, masyarakat akhirnya turun ke jalan dan bertamu ke Gedung DPR/MPR di Senayan, Jakarta. Salah satu catatan penting terjadi ketika mahasiswa turun ke jalan pada 24 September 2019. Kembali pada September 2019, masyarakat akhirnya turun ke jalan dan bertamu ke Gedung DPR/MPR di Senayan, Jakarta. Salah satu catatan penting terjadi ketika mahasiswa turun ke jalan pada 24 September 2019. Mereka tidak sendirian sebab ada beberapa elemen masyarakat yang turut turun ke jalan bersama. Misalnya, para buruh, aktivis HAM, dan lapisan masyarakat lainnya. Aksi mahasiswa juga terjadi di beberapa daerah lain di luar Jakarta, seperti di Yogyakarta, Medan, Bandung, dan daerah-daerah lain. Rekaman acara ini nantinya akan dapat diakses di kanal youtube Asumsi, dalam episode Pangeran Mingguan Edisi November.
Pemanfaatan Data untuk Merumuskan Kebijakan Publik di Bidang Kesehatan

7/10/2019 Jakarta – 18 September 2019. Atma Jaya Institute of Public Policy menyelenggarakan Brownbag Discussion: Special Edition, membahas mengenai penggunaan data dalam penyusunan kebijakan khususnya di bidang kesehatan. Diskusi tersebut dipandu oleh Yunisa Astiarani dari Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat Unika Atma Jaya, dan menghadirkan tiga pembicara yaitu: Ketiga pembicara sepakat bahwa data sangat penting dalam perumusan kebijakan. Ibu Nafsiah Mboi banyak memaparkan berbagai contoh data kesehatan di Indonesia, “Ada peningkatan angka harapan hidup secara nasional di Indonesia, meskipun masih di bawah angka global. Tetapi ketimpangan antar daerah jelas terjadi. Kemudian salah satu data menarik yang menjadi dasar kebijakan, dari tahun 2013 ke 2018, ada peningkatan perokok anak-anak dari 7% menjadi 9%, sedangkan perokok perempuan meningkat tiga kali lipat.” Beliau kemudian melempar, “Dengan data ini, jika Anda sebagai pemangku kebijakan, apa yang akan Anda lakukan? Kebijakan apa yang akan Anda buat?” Ibu Nafsiah kemudian melanjutkan, “Data tidak boleh hanya untuk policy, tetapi juga dipakai dalam proses dari policy to action. Penting sekali action itu kemudian dievaluasi, dimonitor, dan penelitian. Hasilnya kemudian berupa data yang dapat dianalisis untuk dibuat policy lagi, menjadi lingkaran yang terus berjalan.” Pernyataan tersebut sejalan dengan paparan Raj, “Hanya data sendiri tidak akan banyak gunannya. Dalam beberapa kesempatan, kita tidak memiliki informasi yang dibutuhkan untuk membuat keputusan. Di sinilah kita menggunakan ekspertise klinis masing-masing. Kedokteran berbasis bukti zaman sekarang tidak melulu berdasar pada bukti, tetapi dari tiga poin yang saling berkaitan satu sama lain yaitu bukti, ekspertise klinis, dan preferensi pasien.” Direktur Atma Jaya Institute of Public Policy, Edbert Gani setuju dengan pendapat para pembicara, “Pemanfaatan data dalam kebijakan kesehatan sangat penting. Untuk itu tata kelola data yang baik adalah awal yang harus dilakukan.” Meskipun demikian, Beliau juga tidak memungkiri bahwa ada faktor-faktor lain yang memengaruhi perumusan kebijakan: “Memang dalam membaca data kesehatan juga akan dipengaruhi oleh pertimbangan politik, ekonomi dan sosial. Tapi pertimbangan tersebut memerlukan data yang kongkret agar fokus keberpihakan bisa dilakukan.” Selain membicarakan mengenai data, isi dari kebijakan itu sendiri juga penting, “Tetapi dalam merumuskan kebijakan, kita juga harus ingat, kesehatan tidak hanya terdiri dari masalah kesehatan, tetapi juga berhubungan dengan produktivitas,” ujar Ibu Nafsiah Mboi.
Energi Alternatif Jangan Diabaikan
Penulis: Muhammad Nusyamsyi Editor: Fuji Pratiwi JAKARTA — Asosiasi Perusahaan Compressed Natural Gas Indonesia (APCNGI) prihatin terhadap kondisi udara ibu kota negara. Karena itu, APCNGI menyarankan agar penggunaan energi alternatif yang ramah lingkungan tidak diabaikan. Berdasarkan aplikasi air visual dengan air quality Index atau indeks kualitas udara, wilayah DKI Jakarta pada beberapa minggu terakhir berada di level rata-rata di atas 150 yang mana masuk dalam kategori tidak sehat, bahkan sempat menduduki peringkat nomor satu kota terpolusi dunia. Ketua umum APCNGI Robbi R Sukardi mengatakan, sudah hampir satu decade APCNGI mendorong pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya mengupayakan pemanfaatan bahan bakar gas (BBG) untuk kendaraan. BBG dinilai merupakan bahan bakar ramah lingkungan. “Namun, belakangan ini, BBG seakan mulai diabaikan.” ujar Robbi saat media briefing yang digelar APCNGI bersarna Atma Jaya Institute of Public Policy (AJIPP) dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Atma Jaya saat menyoroti permasalahan polusi udara di DKI Jakarta di Unika Atma Jaya, Jakarta, Senin (5/8). Robbi mencontohkan, bus Transjakarta (TJ) menggunakan bahan bakar minyak (BBM) jenis diesel solar yang diklaim telah memenuhi standar Euro4. Namun, kenyataannya TJ tidak menggunakan BBM diesel solar nonsnhsidi, seperti Pertamina Dex High Quality yang memiliki batas ambang sulfur di 50 ppm atau setara yang dapat memenuhi standar Euro-4 tersebut. “Salah satu penvumbang polusi udara terbesar adalah gas buang kendaraan bermesin diesel yang masih mengacu ke standar Euro-2 di Indonesia,” kata Robbi. Oleh karena itu, kata Robbi, BBG perlu tetap dijadikan salah satu langkah yang cepat dalam mengurangi polusi udara untuk saat ini. Hal ini sembari mempersiapkan energi alternatif rang lain, seperti kendaraan listrik, bahkan kendaraan berbahan bakar hidrogen yang masih membutuhkan waktu lagi. “BBG dan energi alternatif lainnya seharusnya berjalan beriringan,” ujar Robbi. Sekretaris Jenderal APCNGI Edhit A Hidayat mengatakan, saat ini di wilayah DKI Jakarta terdapat 23 lokasi pengisian BBG yang beroperasi, tujuh stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) dalam perbaikan dan/atau belum dioperasikan, dan delapan SPBG yang masih dalam tahap perencanaan. “Meskipun jumlah infrastruktur pengisian BBG baik yang dibangun BUMN dan swasta telah tersedia, dari informasi yang APCNGI peroleh, utilisasi atau volume penjualan ke kendaraan berada di level rata-rata di bawah 30 persen secara keseluruhan,” ujar Edhit. Selain utilisasi yang masih rendah, kata Edhit, pemerintah pusat perlu segera menyelesaikan masalah ketetapan keekonomian dari usaha SPBG yang wajar. Hal itu guna mendorong lebih banyak peran swasta dalam menyedialcan infrastruktur SPBG. Kendaraan pengguna BBG yang merupakan salah satu solusi tersebut selayaknya dipertahankan dan dilaksanakan secara simultan. “Sambil juga pengembangan alternatif energi ramah lingkungan lainnya. bukan malah diabaikan. bahkan untuk dilupakan,” kata Edhit. Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Atma Java Irenius Dwinanto Bimo mengatakan, peran pemerintah tidak hanya sebatas keluarnya regulasi. Menurut Bimo, saat ini sudah banyak regulasi yang dikeluarkan pemerintah. tapi tidak efektif berjalan. AJIPP berpendapat, semua pengembangan kendaraan-kendaraan berbasis bahan bakar ramah lingkungan sangat baik bagi masyarakat. Karena itu, harus didukung segenap pelaku industri otomotif, masyarakat, dan pemerintah. “Tetap perlu pemikiran logis agar pencapaian tujuan supaya polusi udara dapat ditangani secara cepat, optimal, dan efektif.” kata Bimo. Artikel ini diterbitkan di koran Republika edisi Selasa, 6 Agustus 2019
Partisipasi Masyarakat Tinggi Mengawal Suara
3/6/2019 Jakarta, 29 Mei 2019 – Atma Jaya Institute of Public Policy (AJIPP) menyelenggarakan brownbag discussion membahas mengenai penerapan teknologi dalam pelaksanaan dan pengawasan pemilu. “Saat ini media banyak membahas mengenai dinamika politik pemilu, jarang yang membahas mengenai teknologi dalam pemilu. Padahal saat ini kita sedang mengalami revolusi industri 4.0, sehingga topik ini sangat penting untuk didiskusikan,” papar Edbert Gani Suryahudaya, direktur AJIPP. Diskusi tersebut mengundang Elina Ciptadi, salah satu co-founder dari kawalpemilu.org, dan Surya Tjandra, seorang dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya dan juga politisi PSI. Kawalpemilu.org merupakan situs pengawasan penghitungan pemilu yang dikelola oleh masyarakat awam dan mengandalkan data berupa foto lembar C1 yang diambil oleh relawan. “Yang unik dari Indonesia adalah proses hitung suara pemilu di awal. Ketika suara pemilu sedang dihitung di masing-masing TPS, disaksikan oleh masyarakat dan ditentukan sah atau tidak juga bersama-sama. Ini menarik, menjadikan penghitungan suara pemilu milik bersama,” papar Elina Ciptadi. “Saat ini kita menunggu sebulan untuk mengetahui hasil pemilu. Bayangkan jika proses penghitungan setelah TPS, pelaporan, tabulasi, dan rekapitulasi dilakukan secara otomatis dengan komputer. Berapa banyak sumber daya yang bisa kita hemat?” tantang Elina. Surya Tjandra kemudian memberikan suntikan diskusi menarik bahwa belum adanya dasar hukum yang kuat untuk penghitungan suara pemilu menggunakan teknologi. Adanya kawalpemilu menunjukkan bahwa masyarakat awam pun bisa mengawasi jalannya pemilu dengan memanfaatkan teknologi. Antusiasme masyarakat juga tinggi untuk ikut berpartisipasi. Dalam pemilu 2019, terdapat lebih dari 40.000 relawan, 750 moderator, dan 1,3 juta web visitor kawalpemilu. “Antusiasmenya tinggi, tapi tingkat literasi data di Indonesia masih rendah. Dalam beberapa kasus, ada masyarakat yang masih menanyakan kesimpulan hasil pemilu, padahal semua data sudah dipublikasikan di situs KPU dan kawalpemilu.” Literasi data menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan dan merupakan tanggung jawab bersama. Surya kemudian menggarisbawahi salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam pengawan pemilu, “Proses digitalisasi sangat baik. Ya artinya iya, tidak ya tidak. Tidak ada daerah abu-abu. Tetapi dalam pelaksanaan pemilu, ada pengaruh sentimen dalam pemilu yang tidak bisa ditangkap oleh teknologi. Sejak 2014, politik identitas lahir di Indonesia dan sangat mempengaruhi proses pemilu kita. Bagaimana cara mengawasi dan mengantisipasinya?” Untuk pemilu berikutnya, Elina menyatakan tidak ada rencana untuk memformalisasi kawalpemilu. “Personil kami memiliki pekerjaan lain selain dari kawalpemilu. Akan menjadi sulit pengelolaannya jika kawalpemilu dijadikan organisasi resmi. Selain itu, karena personil kami sukarela, semua kegiatan dilakukan dengan hati senang,” papar Elina. Untuk pemilu selanjutnya, Surya juga menyarankan diadakannya pengawasan proses pemilu lain selain penghitungan. Pengawasan pemilu memang belum sempurna. Terlepas dari berbagai perhatian tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa kawalpemilu merupakan angin segar dalam pemanfaatan teknologi dalam pemilu Indonesia. Situs ini juga membuktikan bahwa masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam mengawasi proses demokrasi di Indonesia. Diskusi ini dapat diakses via: https://www.youtube.com/watch?v=Am4pd3tl-cs
Ringkasan Eksekutif Kajian Kesiapan Kaum Muda dan Pemerintah Menghadapi Bonus Demografi

Atma Jaya Institute of Public Policy (AJIPP) telah mengadakan survei mengenai pandangan kaum muda khususnya milenial perkotaan mengenai bonus demografi. Menindaklanjuti survei tersebut, AJIPP menyelenggarakan brownbag discussion dengan mengundang empat politisi milenial dengan tema “Politisi Milenial Menjawab Tantangan Bonus Demografi”. Hasil kajian mengenai kesiapan kaum muda dan pemerintah menghadapi bonus demografi terangkum dalam sebuah ringkasan eksekutif yang dapat diunduh di sini: http://wwwprev.atmajaya.ac.id/filecontent/ipp-executivesummary.pdf