Penulis: Muhammad Nusyamsyi
Editor: Fuji Pratiwi
JAKARTA — Asosiasi Perusahaan Compressed Natural Gas Indonesia (APCNGI) prihatin terhadap kondisi udara ibu kota negara. Karena itu, APCNGI menyarankan agar penggunaan energi alternatif yang ramah lingkungan tidak diabaikan.
Berdasarkan aplikasi air visual dengan air quality Index atau indeks kualitas udara, wilayah DKI Jakarta pada beberapa minggu terakhir berada di level rata-rata di atas 150 yang mana masuk dalam kategori tidak sehat, bahkan sempat menduduki peringkat nomor satu kota terpolusi dunia.
Ketua umum APCNGI Robbi R Sukardi mengatakan, sudah hampir satu decade APCNGI mendorong pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya mengupayakan pemanfaatan bahan bakar gas (BBG) untuk kendaraan. BBG dinilai merupakan bahan bakar ramah lingkungan.
“Namun, belakangan ini, BBG seakan mulai diabaikan.” ujar Robbi saat media briefing yang digelar APCNGI bersarna Atma Jaya Institute of Public Policy (AJIPP) dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Atma Jaya saat menyoroti permasalahan polusi udara di DKI Jakarta di Unika Atma Jaya, Jakarta, Senin (5/8).
Robbi mencontohkan, bus Transjakarta (TJ) menggunakan bahan bakar minyak (BBM) jenis diesel solar yang diklaim telah memenuhi standar Euro4. Namun, kenyataannya TJ tidak menggunakan BBM diesel solar nonsnhsidi, seperti Pertamina Dex High Quality yang memiliki batas ambang sulfur di 50 ppm atau setara yang dapat memenuhi standar Euro-4 tersebut.
“Salah satu penvumbang polusi udara terbesar adalah gas buang kendaraan bermesin diesel yang masih mengacu ke standar Euro-2 di Indonesia,” kata Robbi.
Oleh karena itu, kata Robbi, BBG perlu tetap dijadikan salah satu langkah yang cepat dalam mengurangi polusi udara untuk saat ini. Hal ini sembari mempersiapkan energi alternatif rang lain, seperti kendaraan listrik, bahkan kendaraan berbahan bakar hidrogen yang masih membutuhkan waktu lagi.
“BBG dan energi alternatif lainnya seharusnya berjalan beriringan,” ujar Robbi.
Sekretaris Jenderal APCNGI Edhit A Hidayat mengatakan, saat ini di wilayah DKI Jakarta terdapat 23 lokasi pengisian BBG yang beroperasi, tujuh stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) dalam perbaikan dan/atau belum dioperasikan, dan delapan SPBG yang masih dalam tahap perencanaan.
“Meskipun jumlah infrastruktur pengisian BBG baik yang dibangun BUMN dan swasta telah tersedia, dari informasi yang APCNGI peroleh, utilisasi atau volume penjualan ke kendaraan berada di level rata-rata di bawah 30 persen secara keseluruhan,” ujar Edhit.
Selain utilisasi yang masih rendah, kata Edhit, pemerintah pusat perlu segera menyelesaikan masalah ketetapan keekonomian dari usaha SPBG yang wajar. Hal itu guna mendorong lebih banyak peran swasta dalam menyedialcan infrastruktur SPBG.
Kendaraan pengguna BBG yang merupakan salah satu solusi tersebut selayaknya dipertahankan dan dilaksanakan secara simultan. “Sambil juga pengembangan alternatif energi ramah lingkungan lainnya. bukan malah diabaikan. bahkan untuk dilupakan,” kata Edhit.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Atma Java Irenius Dwinanto Bimo mengatakan, peran pemerintah tidak hanya sebatas keluarnya regulasi. Menurut Bimo, saat ini sudah banyak regulasi yang dikeluarkan pemerintah. tapi tidak efektif berjalan. AJIPP berpendapat, semua pengembangan kendaraan-kendaraan berbasis bahan bakar ramah lingkungan sangat baik bagi masyarakat. Karena itu, harus didukung segenap pelaku industri otomotif, masyarakat, dan pemerintah.
“Tetap perlu pemikiran logis agar pencapaian tujuan supaya polusi udara dapat ditangani secara cepat, optimal, dan efektif.” kata Bimo.
Artikel ini diterbitkan di koran Republika edisi Selasa, 6 Agustus 2019