Population Ageing and the Second Demographic Dividend: New Policy Challenges in the New Era

Terbitnya Policy Brief dari IPP di T20 Indonesia merupakan hasil dari upaya IPP dalam memperkuat peran dan pengaruhnya dalam perumusan kebijakan publik di Indonesia. Policy Brief yang dihasilkan mengambil tema dari Atma Jaya Outlook for Development 2022, yaitu kesejahteraan warga lanjut usia sebagai tantangan kebijakan kini dan nanti. Melalui policy brief ini, IPP bertujuan untuk memberikan kontribusi pemikiran dan solusi terkait isu yang krusial ini, dan membantu para pembuat kebijakan untuk mengembangkan kebijakan yang lebih inklusif dan berkelanjutan bagi warga lanjut usia di Indonesia. Penulis: Selengkapnya: https://www.t20indonesia.org/wp-content/uploads/2022/11/TF5_Population-Ageing-and-The-Second-Demographic-Dividend-New-policy-Challenges-in-The-New-Era.pdf
Atma Jaya Outlook for Development 2022: Kesejahteraan Warga Lanjut Usia Tantangan Kebijakan Kini dan Nanti

Institute of Public Policy, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, 20/12, meluncurkan `the Atma Jaya’s Outlook for Development 2022’. Outlook ini mengambil tema `Kesejahteraan Warga Lanjut Usia: Tantangan Kebijakan Kini dan Nanti’ dalam empat dimensi, yakni kesehatan, teknologi, psikososial, dan hukum. Peluncuran Outlook diselenggarakan melalui webinar yang dibuka oleh Wakil Rektor Bidang Penelitian dan Kerjasama, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Dr. Yohanes Eko Adi Prasetyanto, S.Si. Dalam sambutannya Wakil Rektor menyatakan Outlook ini menunjukkan kiprah dan kepedulian Unika Atma Jaya atas isu-isu yang berkembang di tengah masyarakat. “Outlook ini diharapkan dapat menjadi sumber gagasan dan pemikiran bagi kebijakan mengenai warga lanjut usia,” kata Yohanes Eko. Outlook ini sendiri menunjukkan bahwa demografi Indonesia mencatat tanda-tanda penuaan. Data Sensus Penduduk 2020 oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan, dari 270,2 juta penduduk Indonesia, hampir 10 persen di antaranya tergolong warga lanjut usia, yakni penduduk di atas umur 60 tahun. Ini berarti ada sekitar 27 juta jiwa warga lanjut usia di Indonesia. Jumlah ini masih lebih besar daripada jumlah penduduk gabungan tiga provinsi di Sumatera, yakni Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Jumlah ini juga sekitar lima kali lebih besar daripada total penduduk Singapura atau mendekati total penduduk Malaysia. Satu dekade lalu total penduduk lansia baru 18 juta jiwa. Jadi ada tambahan sembilan juta jiwa lansia baru dalam 10 tahun terakhir, atau 900 ribu jiwa per tahun. Saat ini kelompok umur ‘lansia muda’ (60-70 tahun) masih mendominasi keseluruhan penduduk lansia, yakni mendekati 65 persen. Kelompok `lansia madya’ mencakup 27 persen dari keseluruhan lansia Indonesia, sedangkan `lansia tua’ sekitar sembilan persen. Komposisi ini berubah dari satu dekade lalu, ketika lansia muda, madya, dan menengah mengambil prosi berturut-turut 59,59, 30,12, dan 10,29 persen dari keseluruhan lansia. Outlook Atma Jaya ini juga merekam isu kesehatan kontemporer tentang lansia. Meski lansia diprioritaskan dalam program vaksinasi untuk mengatasi pandemi COVID-19, capaiannya masih di bawah yang diharapkan, bahkan tertinggal dari capaian di kelompok umur 12-17. Hingga 18 Desember 2021 vaksinasi pertama bagi lansia baru menjangkau 60 persen populasi lansia, sedangkan vaksinasi kedua 39 persen. Pada kelompok umur 12-17 tahun vaksinasi pertama dan kedua masing-masing telah mencapai 87 dan 60 persen. Outlook ini mencatat tiga penyebab, yakni (1) keterbatasan mobilitas lansia dalam mengakses program vaksinasi, (2) keterbatasan lansia untuk mengakses informasi, dan (3) banyak berita palsu yang beredar. “Pemerintah perlu lebih aktif lagi. Bukan menunggu datang ke pusat layanan, tapi mengunjungi lansia ke tempat tinggalnya. Program vaksinasi lansia dengan kunjungan langsung ke rumah perlu ditingkatkan agar vaksin dapat menjangkau sasarannya,” kata Soegianto Ali dari Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Unika Atma Jaya. Selain vaksinasi, hal penting yang perlu disadari banyak pihak adalah fenomena dimensia alzheimer di kalangan lansia. “Dimensia alzheimer pada lansia tidak hanya merupakan isu kesehatan, tetapi juga social dan ekonomi,” demikian dinyatakan oleh Yuda Turana dari Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Unika Atma Jaya. “Bayangkan seorang lansia 70 tahun penderita dimensia hidup bersama dengan anaknya yang berusia antara 30-40 tahun, serta cucunya yang mungkin berusia 5-10 tahun. Anak yang masih berusia produktif terbeban untuk merawat anaknya yang berusia sekolah, belum mandiri, tetapi juga harus mengurus lansia dengan demensia alzheimer dalam kurun waktu sekitar tahun,” lanjutnya. Sementara itu, “obat yang efektif belum juga ditemukan,” kata Yuda Turana. Outlook ini menunjukkan estimasi kasus demensia di Indonesia beberapa tahun lalu sekitar 1,2 juta pasien dan diperkirakan akan melonjak menjadi lebih dari tiga kali lipat pada tahun 2050. Meskipun data nasional belum ada, data penelitian di Jogjakarta menunjukkan sekitar 20 persen lansia yang disurvei mengalami gangguan kognitif yang sudah mengganggu aktivitas hariannya. Selain itu, tercatat juga bahwa lebih dari 30 persen kasus demensia alzheimer disebabkan oleh faktor risiko gaya hidup, padahal gaya hidup ini dapat dimodifikasi. Riset Kesehatan Dasar terakhir yang dilakukan sebelum pandemi COVID-19 justru menunjukkan peningkatan berbagai faktor risiko demensia, seperti hipertensi, diabetes melitus, obesitas, merokok, dan kondisi inaktivitas. Dalam hal teknologi bagi lansia, Outlook ini membawa kabar baik. Selain teknologi di bidang kesehatan terus membaik dalam hal deteksi dan pelaporan hasil, teknologi pemantau aktivitas lansia terus mengalami perbaikan. Saat ini telah berkembang teknologi Light Detection and Ranging (LiDAR). “Dengan sensor LiDAR ini aktivitas lansia dapat dipantau tanpa menampilkan 100 persen citra tubuhnya,” kata Nova Eka Budiyanta, dosen Fakultas Teknik Unika Atma Jaya. “Jadi, privasi lansia akan tetap terjaga,” demikian Nova. Sensor LiDAR bekerja dengan memproduksi titik-titik koordinat pada ruang dua dimensi (2D) dan tiga dimensi (3D). Dengan begitu penampakan yang dihasilkan oleh sensor LiDAR hanya berupa gabungan titik-titik yang menggambarkan keberadaan dan gerakan lansia di dalam ruangan, bukan citra utuh selaiknya kamera CCTV. Outlook ini menggambarkan LiDAR amat mungin dikombinasikan dengan Artificial Intelligence (AI) dan Internet of Thing (IoT), sehingga di masa depan seorang lansia dapat terpantau aktivitasnya secara realtime dan respons yang diberikannya pun juga jauh lebih cepat. Outlook juga membahas dimensi psikososial lansia. Dipaparkan dalam Outlook bahwa hingga saat ini lansia masih mendapat stigma negatif. Menjadi tua sering dikonotasikan sebagai lemah, sakit, dan mendekati liang kubur. Kata ‘jompo’ kerap digunakan oleh masyarakat untuk menegaskan konotasi negatif itu. Bahkan, ‘panti jompo’ juga dipandang sebagai `tempat pembuangan’. Padahal, ‘panti jompo’ sendiri amat potensial berperan sebagai tempat interaksi dan komunikasi di antara warga lansia yang sebaya. Selain itu, tempat dan fasilitas publik saat ini juga belum ramah lansia. Pada saat yang sama, ageism tak jarang disematkan pada lansia. Ageism adalah diskriminasi negatif pada warga lansia. “Ageism sering ditemui di dunia kerja. Hanya karena seseorang berumur di atas 60 tahun, misalnya, ia tidak lagi diperbolehkan untuk bekerja. Padahal, yang diperlukan adalah apakah lansia mampu mengerjakan pekerjaan itu secara aman dan tanpa paksaan,” demikian dinyatakan oleh Eunike Sri Tyas Suci dari Fakultas Psikologi. “Untuk menghindari diskriminasi pada lansia ini,” lanjutnya, “sudah saatnya pertimbangan kompetensi dan kualifikasi (merit system), bukan usia, dikedepankan.” Outlook ini juga secara khusus menggagas tawaran ‘pengampuan parsial’ dari dimensi hukum. Berbeda dengan pengampuan maksimal yang membatasi gerak-gerak lansia–bahkan mencabut hak lansia–sebagai subyek hukum, Outlook ini menawarkan model pengaturan yang tetap menghargai lansia sebagai subyek hukum. “Pengampuan parsial,” menurut Putri Purbasari Raharningtyas Marditia dari Fakultas Hukum, “adalah suatu model perlindungan hukum bagi warga lansia yang terukur.” “Warga lansia sebagai penerima pengampuan diberi
Malam Penganugerahan Frans Seda Award 2021

Unika Atma Jaya, Yayasan Atma Jaya, dan Frans Seda Foundation bekerja sama untuk membangun tradisi menganugerahkan Frans Seda Award (FSA) kepada pelaku perubahan masyarakat. Kerja sama ini tidak hanya hendak mengenang, tetapi juga membagi dan menyebarluaskan pandangan hidup Frans Seda yang bernilai bagi bangsa. Award yang tahun ini telah memasuki tahun kelima diberikan kepada mereka yang telah bekerja nyata serta memberi dampak positif dan siginifikan pada masyarakat. Tahun 2021 ini FSA menetapkan tema “Sinergitas Pendidikan dan Kesehatan Saat dan PascaPandemi: Pendidikan dan Kesehatan bagi Semua”. Tema ini tidak saja sejalan dengan prinsip RPJMN 2020-2024, RKP 2021 dan 2022, tetapi juga selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) ketiga (kesehatan) dan keempat (Pendidikan) yang telah diimplementasikan pula oleh pemerintah dan pelaku-pelaku pembangunan non-pemerintah di pusat dan di daerah. Penganugerahan ini adalah bagian dari upaya anak bangsa untuk memberi sumbangan nyata pembangunan yang terus berjalan. Untuk memberikan perspektif yang lebih luas, sekaligus fondasi yang lebih dalam tentang dunia pendidikan dan kesehatan Indonesia saat ini dan masa depan bagi pemenang Award, termasuk juga bagi seluruh undangan acara penganugerahan ini, pandangan dari otoritas pendidikan dan kesehatan menempati kedudukan yang penting. Pandangan ini juga mempertemukan relasi antara dinamika di tingkat makro nasional dan global dengan tindakan-tindakan di tingkat mikro dan lokal. Menteri Pendidikan dan Menteri Kesehatan adalah otoritas yang amat tepat untuk ditempatkan dalam kedudukan ini. Dalam hubungan ini, Unika Atma Jaya, Yayasan Atma Jaya, dan Frans Seda Foundation mengundang dan mengharapkan kehadiran Bapak Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim, BA, MA, serta Bapak Menteri Kesehatan Ir. Budi Gunadi Sadikin, CHFC, CLU, untuk memberikan Short Ministerial Talks dalam acara penganugerahan yang akan dilaksanakan pada tanggal 4 Oktober 2021. Publikasi
Peluncuran Buku Cyber Ethics dan Cyber Law: Kontribusinya bagi Dunia Bisnis. Webinar: Arah Pengaturan Fintech di Indonesia

Pakar cyber law Unika Atma Jaya, Prof. Dr. I.B.R. Supancana, S.H., M.H. telah menulis dan menerbitkan buku yang berjudul Cyber Ethics dan Cyber Law: Kontribusinya bagi Dunia Bisnis (Penerbit Atma Jaya). Buku ini merupakan kontribusi nyata dalam mengawal pesatnya pertumbuhan dan kompleksitas pengaturan industri teknologi finansial (fintech). Sebagai sektor yang terus bertumbuh dan bersinggungan dengan banyak aspek lain seperti perlindungan data pribadi dan perlindungan konsumen, acara peluncuran buku ini akan membahas “Arah Pengaturan Fintech di Indonesia”. Pendaftar akan memperoleh E-Book Cyber Ethics dan Cyber Law: Kontribusinya bagi Dunia Bisnis secara GRATIS. Penanggap: Moderator: Penyelenggara Publikasi:
Alat Ukur Saintifik: Solusi Penyelesaian Masalah HAM di Industri Kelapa Sawit

Pendahuluan Status Indonesia sebagai negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia tidak serta merta sejajar dengan pemenuhan hak dan keadilan terhadap para pekerjanya. Pekerja di perkebunan kelapa sawit sangat rentan terhadap ketidakadilan, mulai dari persoalan rendahnya upah dan hak ekonomi lainnya, tidak terpenuhinya hak sosial-budaya seperti kondisi kesehatan yang memprihatinkan, hingga kerusakan lingkungan sekitar perkebunan. Berdasarkan latar belakang tersebut, Fakultas Hukum (FH) Unika Atma Jaya dan Atma Jaya Institute of Public Policy (AJIPP) — bekerja sama dengan ICCO Cooperation — meluncurkan alat ukur yang dapat mengukur pemenuhan hak ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan. Harapannya, alat ukur ini dapat digunakan untuk mengkaji pemenuhan ketiga hak tersebut oleh perusahaan kelapa sawit — dan sektor perkebunan lainnya secara umum. Ketidakadilan yang Tidak Kunjung Selesai Pekerja perkebunan kelapa sawit seringkali digambarkan dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Banyak dari mereka yang tidak memiliki kepastian kerja dan rentan terhadap eksploitasi, ruang kerja yang tidak ramah perempuan, perampasan tanah yang kerap kali terjadi, hingga kerusakan lingkungan yang tidak lagi terelakkan. Terlebih lagi, lemahnya penegakan hukum dan ketiadaan peraturan khusus pekerja perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus memperkuat status quo yang diskriminatif dan tidak adil ini. Persoalan ini tentu tidak sehat bagi para pekerja, dan semakin ironis ketika Indonesia sebagai anggota dalam Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya serta Kovenan Hak Sipil dan Politik terlihat tidak serius dalam menyelesaikan masalah ini. Berbagai fakta yang menunjukkan bahwa terjadi praktik pekerja paksa di industri perkebunan kelapa sawit, di mana status mereka yang tidak jelas membuat upah yang diterima terlampau sedikit, kapasitas pekerjaan yang berlebihan, dan keselamatan kerja mereka yang minim — atau bahkan tidak dijamin sama sekali. Tidak hanya pekerja, masyarakat sekitar perkebunan juga terkena dampak dari operasi industri yang tidak ramah lingkungan, hingga sewenang-wenang merampas tanah milik masyarakat sekitar. Maka dari itu, rasanya mutlak untuk terus mencari keadilan, dan alat ukur ini merupakan salah satu bentuk pengejawantahan yang konkrit. Harapan di Tengah-tengah Ketidakadilan Alat ukur ini disusun agar dapat digunakan oleh masyarakat umum hingga lembaga sosial yang bergerak di bidang HAM untuk dapat mengevaluasi secara empiris dunia usaha dan peraturan negara. Penyelesaian pelanggaran HAM dalam bidang ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan dapat segera diintervensi oleh alat ukur ini. Tidak hanya alat ukur, tim peneliti juga meluncurkan modul yang berisi langkah-langkah dan kondisi yang harus dipenuhi dalam menggunakan alat ukur tersebut dalam prakteknya. Pengumpulan data dan proses pengembangan alat ukur ini melibatkan pendapat para ahli hingga aktivis HAM melalui Focus Group Discussion (FGD) dan kajian literatur sebagai representasi atas metode kuantitatif dan kualitatif. Tim peneliti juga tidak luput melakukan validasi data dengan cara menyebarkan kuesioner yang diberikan kepada berbagai aktor yang mengikuti tes, dengan tujuan mendapatkan masukan atau pendapat berdasarkan keahlian dan pengalamannya. Langkah Selanjutnya untuk Masa Depan Program ini mendapatkan respon positif dari kelompok masyarakat — lokal maupun nasional — yang bergerak di bidang HAM karena sangat relevan dengan data dan analitik situasi HAM di Indonesia. Dengan kondisi sumber daya material yang tidak banyak dimiliki oleh masyarakat sipil, sulit bagi mereka untuk dapat mengakses data yang terbatas dan mahal, ataupun instrumen saintifik lainnya. Program ini tentu dijangka akan meruntuhkan “tembok pembatas” tersebut dan dapat dipergunakan segara agar masyarakat sipil setempat dapat menganalisis situasi mereka tentang hak asasi manusia atau ketidakadilan sosial. Setelah alat ukur tersebut selesai disusun, tim peneliti melakukan berbagai macam terobosan untuk memperkenalkan secara luas alat ukur ini melalui berbagai cara, meskipun terhambat dengan kondisi pandemi. Tim peneliti melakukan Sosialisasi Publik melalui Webinar yang bekerjasama dengan GeoLive dan wadah siniar sebagai media partner. Policy Brief juga dilakukan dalam rangka menyampaikan kebijakan yang lebih baik dalam menangani pelanggaran HAM di industri kelapa sawit. Pengembangan ini juga akan terus berjalan dengan dihadirkannya situs web dengan maksud membangun dashboard yang tidak hanya menjangkau khalayak ramai, tetapi juga menjadi alat pendukung bagi studi serupa di masa mendatang. Kami yakin bahwa alat ukur ini merupakan satu langkah konkrit dalam menyelesaikan masalah HAM.
Peluncuran Buku: Indonesia Menghadapi Pandemi Kajian Multidisiplin Dampak Covid-19 pada Peradaban

Indonesia Menghadapi Pandemi Kajian Multidisiplin Dampak Covid-19 pada Peradaban Yuval Noah Harari menyebut Pandemi Covid-19 merupakan wabah terbesar dunia dalam seratus tahun terakhir. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebut wabah ini telah melewati millestones tragic karena telah menewaskan ribuan penduduk dari lebih dari 150 negara di dunia. Kejadian luar biasa yang dialami dunia ini tentu punya implikasi luas. Pertama, terkait dengan isu kemanusiaan. Bagaimanapun risiko kematian adalah masalah kemanusiaan (humanity). Dan karena itu, Covid-19 memiliki dimensi kemanusiaan sangat tinggi. Kedua, tata cara, koordinasi dan tindakan mitigasi yang melibatkan kebijakan publik (public policy). Mengingat pandemi Covid-19 telah menyebar ke hampir semua belahan dunia, kebijakan publik yang diperlukan termasuk koordinasi, konsensus dan kepemimpinan global memerangi pandemi. Buku ini bertujuan untuk merefleksikan salah satu tragedi terbesar dalam masyarakat modern ini agar terjadi pembelajaran. Tujuan lainnya, adalah mengumpulkan para pemikir di lingkungan Unika Atma Jaya untuk secara nyata memberikan sumbangan pemikiran bagi persoalan kemanusiaan dan kebijakan publik. Pasca-pandemi, akan terbentuk tatanan masyarakat baru, mulai arah globalisasi, hingga munculnya standar perilaku berbasis digital. Tanggapan mengenai Buku “Indonesia Menghadapi Pandemi Kajian Multidisiplin Dampak Covid-19 pada Peradaban” “Pandemi Covid-19 merupakan tantangan nyata bagi dunia kesehatan maupun perekonomian, atau dengan kata lain tantangan bagi peradaban. Kebijakan di bidang ekonomi terutama diarahkan untuk memastikan risiko kesehatan bisa dikendalikan, selain mengatasi dampak sosial yang ditimbulkan, seperti peningkatan jumlah pengangguran dan kemiskinan. Kami menyadari sepenuhnya, kebijakan tersebut hanyalah sebagian kecil saja dari upaya yang harus dilakukan oleh semua pihak dalam menghadapi tantangan peradaban ini. Untuk itu, saya menyambut baik upaya perguruan tinggi dalam menyumbangkan pemikiran mengenai pergulatan Indonesia menghadapi pandemi Covid-19 dari berbagai disiplin ilmu. Terlebih, karena penerbitan buku ini juga dikaitkan dengan upaya nyata pemberian beasiswa bagi para mahasiswa/calon mahasiswa yang terkena dampak Covid-19. Perguruan tinggi dikenal sebagai institusi yang kaya wacana, namun juga ingin bertindak nyata. Apresiasi yang sangat tinggi bagi civitas academica Unika Atma Jaya yang tahun ini merayakan Lustrum XII.” (SRI MULYANI INDRAWATI, Menteri Keuangan Republik Indonesia) “Pandemi Covid-19 merupakan tantangan peradaban. Di satu sisi, ini menimbulkan persoalan yang memengaruhi hampir semua bidang kehidupan, namun di sisi lain juga memunculkan peluang dan harapan baru. Salah satunya adalah adopsi teknologi yang akan semakin intensif di masa depan. Bagi dunia pendidikan tinggi, tantangan ini datang dengan tiba-tiba, dan memaksa kita semua berubah dari pendekatan luring menjadi daring. Namun, perubahan tak semata hanya pada cara, tetapi juga materi pengajarannya. Masa pandemi ini juga memicu kebutuhan agenda penelitian baru, selain kurikulum yang harus disesuaikan dengan perubahan. Selain itu, pengabdian masyarakat juga harus ikut beradaptasi cepat sehingga akan senantiasa relevan dan berdaya guna secara maksimal. Melihat hal tersebut, kami menyambut baik upaya Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya yang menerbitkan buku mengenai perjuangan Indonesia dalam menghadapi pandemi dari berbagai sudut pandang keilmuan. Semoga penerbitan buku ini menjadi salah satu penanda upaya lebih lanjut dari dunia pendidikan tinggi dalam menciptakan perubahan mendasar, sekaligus juga menginspirasi semangat gotong royong civitas academica di berbagai kampus di Indonesia untuk turut aktif menentukan peradaban di masa depan melalui karya-karya akademik.” (NADIEM ANWAR MAKARIM, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia) Biodata Penulis Ekonomi, Bisnis dan Teknologi Menyelesaikan program doktor di bidang ekonomi keuangan, perbankan dan ekonomi internasional dari École Normale Supérieure de Lyon dan Master dari Universitas Lille-1 Perancis. Program master dan doktor didanai sepenuhnya oleh Kedutaan Prancis melalui beasiswa Boursier de Gouvernement Français (BGF). Serta menyelesaikan program studi S-1 dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada 1997. Rektor Unika Atma Jaya periode 2015-2019 dan 2019-2023. Senior Fellow dan Pendiri Atma Jaya Institute of Public Policy (AJIPP). Menulis kolom rutin analisis ekonomi di Harian KOMPAS. Alamat emil: a.prasetyantoko@atmajaya.ac.id 2. Gregorius Airlangga: Mitigasi Bencana Pandemi COVID19 Menggunakan Teknologi AI Penulis saat ini adalah kandidat doktor di bidang elektro dan teknik komputer dengan peminatan AI dan rekayasa perangkat lunak di National Chung Cheng University, Taiwan. Sebelumnya, menempuh program S1 di bidang sistem informasi STIKOM Yos Sudarso Purwokerto dan S2 di bidang informatika di Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Saat ini penulis adalah staf pengajar di Fakultas Teknik, Unika Atma Jaya. 3. Erwin Bramana Karnadi: Peran Data Science dalam Menghadapi Pandemi COVID-19 – Aplikasi di Indonesia Erwin Bramana Karnadi menyelesaikan pendidikan S1 di Monash University, Melbourne, Australia dan pendidikan S2 di The University of Sydney, Sydney, Australia dalam bidang ekonomi dan ekonometrika. Pengalaman kerja termasuk bekerja sebagai Data Analyst di Roy Morgan Research dan sebagai Co-Founder / Data Scientist di P.T. Ekrut Teknologi Pasifik, Jakarta, Indonesia. Saat ini, mengajar ekonometrika, statistika dan matematika ekonomi di Unika Atma Jaya sebagai dosen tetap. Kepala Komputer Lab Fakultas Ekonomi dan Bisnis, dan penulis buku “Panduan EViews untuk Ekonometrika” terbitan Grasindo. Tertarik dengan ekonometrika dan data science. 4. Stevanus Pangestu: Keberlangsungan Bisnis dalam Menghadapi Pandemi Stevanus Pangestu merupakan seorang dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis sejak Maret 2017, sekaligus Kepala Unit Perencanaan dan Pengembangan Strategis Unika Atma Jaya sejak Maret 2020. Bidang penelitian yang digeluti adalah literasi keuangan dan perilaku investor. Beberapa artikelnya telah dipublikasi dalam berbagai jurnal internasional, termasuk yang bereputasi dan memiliki faktor dampak. Ia menyelesaikan pendidikan sarjana dan magister di FEB Unika Atma Jaya. Ia juga aktif menulis di The Conversation Indonesia. (pos-el: pangestu@atmajaya.ac.id) Sosial, Politik dan Hukum Penulis adalah advisor Institute of Public Policy (IPP), Universitas Katolik Atma Jaya. Sebelumnya beliau mengepalai IPP di tahun 2019. Sekarang beliau aktif menjadi peneliti di Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS).Ia memperoleh gelar S1 dari Universitas Indonesia di bidang Ilmu Politik dan gelar S2 di bidang Ilmu Politik dan Ekonomi Politik dari London School of Economics and Political Science, Inggris. Sebagai peneliti, Gani aktif sebagai kolumnis di berbagai media nasional dengan telah menulis banyak artikel terkait politik dan kebijakan publik. Beliau bisa dihubungi lewat edbert.gani@gmail.com. 2. Asmin Fransiska: Dimensi Hak Asasi Manusia atas Respons COVID-19 Asmin Fransiska adalah dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya di Jakarta. Hak Asasi Manusia adalah mata kuliah yang diampu bersama dengan hukum narkotika/obat-obatan. Asmin menyelesaikan Sarjana Hukum di Universitas Katolik Parahyangan (Bandung) pada tahun 1998 dan melanjutkan Studi Magister Hukum (LL.M) dalam bidang International Human Rights Law di School of
Peluncuran Indonesia Fintech Society (IFSoc)

Atma Jaya Institute of Public Policy (AJIPP) menjadi salah satu komisi pelaksana (organizing committee) bersama dengan Center for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia FIntech Society (IFSoc). Indonesia FIntech Society (IFSoc), forum diskusi dan analisis kebijakan yang menyoroti perkembangan dunia fintech, hari ini diluncurkan secara resmi, dan disaksikan oleh Menteri Koordinator bidang Perekonomian Republik Indonesia, Airlangga Hartarto, Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara, Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan,Nurhaida dan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Sugeng. Indonesia Fintech Society (IFSoc), merupakan suatu forum diskusi kebijakan yang digagas untuk menjadi mitra bagi pembuat kebijakan terkait fintech. Melihat bahwa fintech merupakan area yang terbilang baru namun memiliki peranan yang sangat signifikan bagi ekonomi nasional, inisiator IFSoc memandang perlunya kehadiran suatu forum inklusif yang memainkan peran sebagai mitra bagi pembuat kebijakan dalam mengawal perkembangan pesat dunia fintech Indonesia. Inisiator IFSoc terdiri dari Mirza Adityaswara sebagai Ketua, Rudiantara, Hendri Saparini, Agustinus Prasetyantoko, Yose Rizal Damuri, Karaniya Dharmasaputra, Maryoto, dan Wahyu Dhyatmika Peluncuran ini juga ditandai dengan diskusi publik dengan tema Peran Fintek dalam Pemulihan Ekonomi Nasional, bersama Chaikal Nuryakin (Peneliti LPEM FEB UI), dan Agus Pambagio (Pengamat Kebijakan Publik). Diskusi dipandu oleh Wartawan senior, Andreas Maryoto.
Menanti Gebrakan Bidenomics

Pada 10 November, A. Prasetyantoko menulis tentang Terpilihnya Biden sebagai presiden ke-46 AS dan konstelasi global. Selengkapnya dapat dibaca di https://kompas.id/baca/opini/2020/11/10/menanti-gebrakan-bidenomics/ atau, dapat dilihat dibawah ini.
Mendobrak Kelambanan Birokrasi
Menyikapi polemik hebat soal Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang sudah disahkan DPR pada 5 Oktober lalu. Ekonom sekaligus Rektor Unika Atma Jaya Dr. A. Prasetyantoko mengatakan ada dua hal yang menjadi fokus perdebatan, yaitu soal proses penyusunan dan substansinya. Dari sisi proses, kritik tertuju pada dinamika yang dianggap tertutup dan terlalu cepat untuk sebuah kerangka perundangan yang sedemikian luas dan kompleks. Sementara, dari sisi substansi, ada beberapa titik perdebatan seperti perlindungan pekerja dan lingkungan yang berkurang, serta kembalinya otoritas kebijakan pada pemerintah pusat (resentralisasi). Selain dua hal tersebut, Dr. A. Prasetyantoko juga mengungkapkan bahwa polemik tersebut menjurus pada urgensinya. “Jika tujuannya meningkatkan investasi, masalah korupsi lebih krusial dibereskan daripada meluncurkan RUU Cipta Kerja. Selain itu, Indonesia merupakan salah satu negara destinasi utama investasi asing selama ini. Kita sama sekali tak kekurangan investasi, mengapa perlu upaya ekstra meningkatkannya? Begitu berbagai gugatan mengalir deras pada urgensi UU Cipta Kerja ini,” jelasnya. Ia menambahkan, mungkin saja perdebatan selanjutnya adalah mengapa perlu perubahan peraturan sebanyak itu sehingga muncul berbagai pasal yang cenderung merugikan berbagai pihak. Ini dilema lain yang juga harus dijawab secara nyata. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 dan 3, tujuan RUU Cipta Kerja adalah menciptakan lapangan kerja (pertama-tama) melalui pemberdayaan koperasi dan unit usaha mikro, kecil, dan menengah. Tentu ada banyak pasal terkait investasi strategis yang nilainya besar dan melibatkan investor (asing) besar pula. Meski begitu, anggapan RUU Cipta Kerja hanya berorientasi mendatangkan investasi (asing) berskala besar tak sepenuhnya valid. Relaksasi dan transformasi Harus diakui, semangat UU Cipta Kerja adalah melakukan relaksasi di berbagai bidang secara komprehensif dan cepat. Keyakinan umum di mana-mana tentang cara paling cepat meningkatkan produktivitas dan daya saing adalah melalui relaksasi atau liberalisasi. Dengan relaksasi diyakini akan menarik lebih banyak investasi sehingga lebih banyak kesempatan kerja tercipta. Para pendukung RUU Cipta Kerja menyakini, jika proteksi pada pekerja menurun, proteksi terhadap pekerjaan itu meningkat. Tentu saja dari kaca mata pekerja, argumen ini ganjil. Sebab, mereka yang harus menanggung efek negatifnya. Bisa dipahami jika para pekerja tak rela kualitas hidupnya menurun, meskipun demi kesempatan kerja yang lebih luas (bagi orang lain) di masa depan. Oleh karena itu, perlu kompromi atas dilema seperti ini. Namun, tampaknya ada banyak dilema lain di berbagai aspek dalam aturan seluas ini. Dr. A. Prasetyantoko menjelaskan ada dua cara untuk keluar dari aneka dilema ini. Pertama, perlu pemetaan komprehensif dengan mengundang partisipasi berbagai pihak guna merumuskan aturan turunan yang optimal. Kedua, perlu akselerasi kerja birokrasi agar lebih responsif, baik dalam menampung masukan maupun merancang kebijakan lanjutannya. “Kalaupun RUU Cipta Kerja ini bisa begitu saja disahkan, tanpa penolakan dan proses hukum di Mahkamah Konstitusi, tak serta-merta persoalannya selesai. Persoalannya justru baru dimulai karena kuncinya ada di fase implementasi. Berbagai upaya relaksasi hanya akan relevan jika peta jalan transformasinya dijabarkan,” kata Rektor Unika Atma Jaya tersebut. Lebih lanjut, Dr. A. Prasetyantoko menjelaskan soal pengurusan izin investasi satu pintu melalui perizinan terintegrasi secara elektronik (Online Single Submission/OSS), misalnya. Meskipun sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah No 24/2018, dalam implementasinya masih banyak kendala sehingga hasilnya belum maksimal. “Mekanisme yang diharapkan meningkatkan minat berinvestasi di Indonesia ini tak serta-merta membuahkan hasil. Tentu saja, investasi tak sekadar dipengaruhi kemudahan administrasif, tetapi juga faktor fundamental lainnya. Namun, fakta ini perlu menjadi pelajaran, agar omnibus law tak bernasib serupa; relaksasi tak diikuti transformasi,” katanya. Terlepas masih banyaknya pasal yang konsensusnya belum tercapai, ada (lebih) banyak pasal lain yang valid segera ditindaklanjuti. Sebagai contoh, relaksasi pendirian koperasi primer yang hanya memerlukan 9 orang dari ketentuan sebelumya 20 orang. Juga relaksasi perizinan pendirian Perseroan Terbatas (PT) serta Usaha Mikro Kecil (UMK) yang praktis tak memerlukan izin, cukup dengan pemberitahuan. RUU Cipta Kerja cukup rinci mengatur penguatan UMK, mulai dari penyatuan data, insentif fiskal hingga kewajiban pendampingan oleh pemerintah dan dunia usaha. Dr. A. Prasetyantoko mengatakan, berbagai pasal peningkatan kapasitas dan pemberdayaan UMK merupakan salah satu bagian pokok dari UU Cipta Kerja dalam rangka melakukan transformasi ekonomi. Oleh karena itu, kalaupun masih banyak pasal yang dianggap kontroversial, sepertinya tak perlu membatalkan seluruh konstruksi hukumnya. Meski upaya hukum masih terbuka lebar, diperlukan konsensus agar transformasi ekonomi melalui peningkatan produktivitas dan daya saing tetap bisa diakselerasi. Di lain hal, Dr. A. Prasetyantoko juga mengatakan bawa perlu konsistensi agar RUU Cipta Kerja tak bias kepentingan investor besar. “Diperlukan langkah nyata mewujudkan transformasi ekonomi domestik melalui pemberdayaan UKM. Relaksasi harus ditindaklanjuti dengan upaya transformasi yang terarah. Jika tidak, hanya akan menjadi liberalisasi yang menguntungkan pelaku besar saja. Jika hal itu terjadi, keberatan utama berbagai pihak selama ini menemukan kebenarannya,” ungkapnya. Ia berharap agar jangan sampai kinerja birokrasi justru menggerogoti legitimasi kerangka perundangan yang secara normatif sulit dibantah lebih banyak pihak di negeri ini.
Turunnya Kualitas Demokrasi Indonesia: Perspektif Politik Lokal

Analisis beberapa ilmuwan politik yang mempelajari dinamika politik di Indonesia menunjukkan bahwa kualitas demokrasi Indonesia semakin rendah dalam empat tahun terakhir. Meningkatnya konservatisme, serta penerapan beberapa peraturan hukum yang bersifat mengekang kebebasan sipil yang disertai reaksi keras pemerintah terhadap gerakan-gerakan masyarakat sipil, dituding sebagai penyebab menurunnya kualitas demokrasi di Indonesia. Akan tetapi, pendapat tersebut terlalu fokus pada dinamika politik di Jakarta. Lebih lanjut, mereka seakan abai terhadap dinamika politik di level subnasional yang juga memainkan peran penting dalam menurunnya kualitas demokrasi di Indonesia. Institute of Public Policy Unika Atma Jaya akan mengadakan Brownbag Discussion dengan, Yoes C. Kenawas (Kandidat Doktor Ilmu Politik, Northwestern University) sebagai Pembicara yang akan memaparkan beberapa temuan sementara dari penelitian lapangannya yang menunjukkan bahwa menurunnya kualitas demokrasi di Indonesia tidak terlepas dari dinamika politik di tingkat lokal. Pembicara dan Pembahas: 1. Yoes Chandra Kenawas (IPP Research Fellow, Kandidat Ph.D, Northwestern University, U.S.A.) 2. Pembahas: Dr. Kurniawati Hastuti Dewi S.IP, MA. (Peneliti Senior LIPI) 3. Moderator: Edbert Gani Suryahudaya (Peneliti Politik) Lokasi: Gedung K2, Ruang K202 Kampus Semanggi , Unika Atma Jaya Tanggal: Senin, 10 Februari 2019 Waktu : 14.00-16.00WIB http://bit.ly/BrownbagPolitikLokal