Institute of Public Policy, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, 20/12, meluncurkan `the Atma Jaya’s Outlook for Development 2022’. Outlook ini mengambil tema `Kesejahteraan Warga Lanjut Usia: Tantangan Kebijakan Kini dan Nanti’ dalam empat dimensi, yakni kesehatan, teknologi, psikososial, dan hukum. Peluncuran Outlook diselenggarakan melalui webinar yang dibuka oleh Wakil Rektor  Bidang Penelitian dan Kerjasama, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Dr. Yohanes Eko Adi Prasetyanto, S.Si.

Dalam sambutannya Wakil Rektor menyatakan Outlook ini menunjukkan kiprah dan kepedulian Unika Atma Jaya atas isu-isu yang berkembang di tengah masyarakat. “Outlook ini diharapkan dapat menjadi sumber gagasan dan pemikiran bagi kebijakan mengenai warga lanjut usia,” kata Yohanes Eko.

Outlook ini sendiri menunjukkan bahwa demografi Indonesia mencatat tanda-tanda penuaan. Data Sensus Penduduk 2020 oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan, dari 270,2 juta penduduk Indonesia, hampir 10 persen di antaranya tergolong warga lanjut usia, yakni penduduk di atas umur 60 tahun. Ini berarti ada sekitar 27 juta jiwa warga lanjut usia di Indonesia. Jumlah ini masih lebih besar daripada jumlah penduduk gabungan tiga provinsi di Sumatera, yakni Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Jumlah ini juga sekitar lima kali lebih besar daripada total penduduk Singapura atau mendekati total penduduk Malaysia. Satu dekade lalu total penduduk lansia baru 18 juta jiwa. Jadi ada tambahan sembilan juta jiwa lansia baru dalam 10 tahun terakhir, atau 900 ribu jiwa per tahun.

Saat ini kelompok umur ‘lansia muda’ (60-70 tahun) masih mendominasi keseluruhan penduduk lansia, yakni mendekati 65 persen. Kelompok `lansia madya’ mencakup 27 persen dari keseluruhan lansia Indonesia, sedangkan `lansia tua’ sekitar sembilan persen. Komposisi ini berubah dari satu dekade lalu, ketika lansia muda, madya, dan menengah mengambil prosi berturut-turut 59,59, 30,12, dan 10,29 persen dari keseluruhan lansia.

Outlook Atma Jaya ini juga merekam isu kesehatan kontemporer tentang lansia. Meski lansia diprioritaskan dalam program vaksinasi untuk mengatasi pandemi COVID-19, capaiannya masih di bawah yang diharapkan, bahkan tertinggal dari capaian di kelompok umur 12-17. Hingga 18 Desember 2021 vaksinasi pertama bagi lansia baru menjangkau 60 persen populasi lansia, sedangkan vaksinasi kedua 39 persen. Pada kelompok umur 12-17 tahun vaksinasi pertama dan kedua masing-masing telah mencapai 87 dan 60 persen. Outlook ini mencatat tiga penyebab, yakni (1) keterbatasan mobilitas lansia dalam mengakses program vaksinasi, (2) keterbatasan lansia untuk mengakses informasi, dan (3) banyak berita palsu yang beredar. “Pemerintah perlu lebih aktif lagi. Bukan menunggu datang ke pusat layanan, tapi mengunjungi lansia ke tempat tinggalnya. Program vaksinasi lansia dengan kunjungan langsung ke rumah perlu ditingkatkan agar vaksin dapat menjangkau sasarannya,” kata Soegianto Ali dari Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Unika Atma Jaya.

Selain vaksinasi, hal penting yang perlu disadari banyak pihak adalah fenomena dimensia alzheimer di kalangan lansia.  “Dimensia alzheimer pada lansia tidak hanya merupakan isu kesehatan, tetapi juga social dan ekonomi,” demikian dinyatakan oleh Yuda Turana dari Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Unika Atma Jaya. “Bayangkan seorang lansia 70 tahun penderita dimensia hidup bersama dengan anaknya yang berusia antara 30-40 tahun, serta cucunya yang mungkin berusia 5-10 tahun. Anak yang masih berusia produktif terbeban untuk merawat anaknya yang berusia sekolah, belum mandiri, tetapi juga harus mengurus lansia dengan demensia alzheimer dalam kurun waktu sekitar tahun,” lanjutnya. Sementara itu, “obat yang efektif belum juga ditemukan,” kata Yuda Turana. Outlook ini menunjukkan estimasi kasus demensia di Indonesia beberapa tahun lalu sekitar 1,2 juta pasien dan diperkirakan akan melonjak menjadi lebih dari tiga kali lipat pada tahun 2050. Meskipun data nasional belum ada, data penelitian di Jogjakarta menunjukkan sekitar 20 persen lansia yang disurvei mengalami gangguan kognitif yang sudah mengganggu aktivitas hariannya. Selain itu, tercatat juga bahwa lebih dari 30 persen kasus demensia alzheimer disebabkan oleh faktor risiko gaya hidup, padahal gaya hidup ini dapat dimodifikasi. Riset Kesehatan Dasar terakhir yang dilakukan sebelum pandemi COVID-19 justru menunjukkan peningkatan berbagai faktor risiko demensia, seperti hipertensi, diabetes melitus, obesitas, merokok, dan kondisi inaktivitas.

Dalam hal teknologi bagi lansia, Outlook ini membawa kabar baik. Selain teknologi di bidang kesehatan terus membaik dalam hal deteksi dan pelaporan hasil, teknologi pemantau aktivitas lansia terus mengalami perbaikan. Saat ini telah berkembang teknologi Light Detection and Ranging (LiDAR). “Dengan sensor LiDAR ini aktivitas lansia dapat dipantau tanpa menampilkan 100 persen citra tubuhnya,” kata Nova Eka Budiyanta, dosen Fakultas Teknik Unika Atma Jaya. “Jadi, privasi lansia akan tetap terjaga,” demikian Nova. Sensor LiDAR bekerja dengan memproduksi titik-titik koordinat pada ruang dua dimensi (2D) dan tiga dimensi (3D). Dengan begitu penampakan yang dihasilkan oleh sensor LiDAR hanya berupa gabungan titik-titik yang menggambarkan keberadaan dan gerakan lansia di dalam ruangan, bukan citra utuh selaiknya kamera CCTV. Outlook ini menggambarkan LiDAR amat mungin dikombinasikan dengan Artificial Intelligence (AI) dan Internet of Thing (IoT), sehingga di masa depan seorang lansia dapat terpantau aktivitasnya secara realtime dan respons yang diberikannya pun juga jauh lebih cepat.

Outlook juga membahas dimensi psikososial lansia. Dipaparkan dalam Outlook bahwa hingga saat ini lansia masih mendapat stigma negatif. Menjadi tua sering dikonotasikan sebagai lemah, sakit, dan mendekati liang kubur. Kata ‘jompo’ kerap digunakan oleh masyarakat untuk menegaskan konotasi negatif itu. Bahkan, ‘panti jompo’ juga dipandang sebagai `tempat pembuangan’. Padahal, ‘panti jompo’ sendiri amat potensial berperan sebagai tempat interaksi dan komunikasi di antara warga lansia yang sebaya. Selain itu, tempat dan fasilitas publik saat ini juga belum ramah lansia.  Pada saat yang sama, ageism tak jarang disematkan pada lansia. Ageism adalah diskriminasi negatif pada warga lansia. “Ageism sering ditemui di dunia kerja. Hanya karena seseorang berumur di atas 60 tahun, misalnya, ia tidak lagi diperbolehkan untuk bekerja. Padahal, yang diperlukan adalah apakah lansia mampu mengerjakan pekerjaan itu secara aman dan tanpa paksaan,” demikian dinyatakan oleh Eunike Sri Tyas Suci dari Fakultas Psikologi. “Untuk menghindari diskriminasi pada lansia ini,” lanjutnya, “sudah saatnya pertimbangan kompetensi dan kualifikasi (merit system), bukan usia, dikedepankan.”

Outlook ini juga secara khusus menggagas tawaran ‘pengampuan parsial’ dari dimensi hukum. Berbeda dengan pengampuan maksimal yang membatasi gerak-gerak lansia–bahkan mencabut hak lansia–sebagai subyek hukum, Outlook ini menawarkan model pengaturan yang tetap menghargai lansia sebagai subyek hukum. “Pengampuan parsial,” menurut Putri Purbasari Raharningtyas Marditia dari Fakultas Hukum, “adalah suatu model perlindungan hukum bagi warga lansia yang terukur.” “Warga lansia sebagai penerima pengampuan diberi ruang kebebasan untuk memutuskan sendiri apa yang menjadi kehendaknya,” lanjutnya. Outlook ini menunjukkan pengampuan ini juga dapat mengambil bentuk bantuan atau pendampingan insentif. Pendampingan ini dapat menjadi perwakilan atas nama lansia untuk memberikan pertimbangan dan membantu melakukan perbuatan hukum.

Unduh `the Atma Jaya’s Outlook for Development 2022: Kesejahteraan Warga Lanjut Usia: Tantangan Kebijakan Kini dan Nanti‘ dibawah ini:

http://wwwprev.atmajaya.ac.id/filecontent/ipp-AJOL-Final-2022.pdf