Protest under Duress at Université Laval, Quebec, Canada

Dr. Muhammad Fajar, research fellow Institute for Advanced Research Unika Atma Jaya, berpartisipasi dalam workshop Protest under Duress yang berlangsung pada 30-31 Oktober 2024 di Quebec, Kanada. Ia mempresentasikan tulisannya yang berjudul The Variety of Social Movement Strategies under Democratic Backsliding: Evidence from Indonesia. Risetnya bertujuan untuk memahami bagaimana respon gerakan sosial terhadap kemunduran demokrasi.

Peran Media dalam Demokrasi di Indonesia: Pendorong atau Penghambat?

Pada 29 Oktober lalu, Atma Jaya Public Policy Forum mengangkat diskusi mengenai peran media dalam aktivisme digital. Andina Dwifatma menyampaikan bahwa media memiliki peran untuk menjaga momentum. Kelas menengah tidak bisa lagi menerima status quo, dengan posisi yang ber-privileged, kelas menengah dapat menuntut perubahan sosial. Media juga berperan untuk pemantik imajinasi bernegara. Melalui media sosial, masyarakat warga negara dapat memiliki gambaran dan juga terdorong untuk memiliki bayangan hidup yang layak seperti apa. 

Indonesia’s Prabowo swears in Large Cabinet

Wawancara Dr. Yoes Kenawas dengan NHK World Japan Pada 21 Oktober 2024, Presiden Prabowo Subianto telah melantik sebanyak 48 menteri dan 56 wakil menteri. Kabinet ini memiliki 10 menteri lebih banyak daripada kabinet sebelumnya. Partai Gerindra diharapkan akan berkoalisi dengan 12 partai lainnya, dan menduduki lebih dari 80 persen posisi legislatif. “What we need to realize [is] that Prabowo will inherit democratic environment that is worse compared to ten years ago. I do really wish that Prabowo will have the incentive to prove that ‘okay, I’m a president who uphold the commitment to democracy’, but his [Prabowo’s] track record does not support that” ucap Dr. Yoes Kenawas.

Mengapa Dinasti Politik Naik Daun di Indonesia?

Artikel opini Dr. Yoes Kenawas di Indonesia at Melbourne Dengan dilantiknya Gibran, putra Jokowi, sebagai wakil Presiden. Ia secara resmi menjadi wakil Presiden termuda dalam sejarah. Pada 2020, Yoes Kenawas menulis bahwa politik dinasti telah menjadi hal yang normal dalam lanskap politik Indonesia. Ia berargumen bahwa penyebab munculnya dinasti politik di Indonesia adalah buruknya institusionalisasi dan pragmatisme partai politik yang mencari keuntungan elektoral. Dengan kata lain, ia berfokus pada pihak penyedia pasar pemilu. Saat ini data menunjukkan bahwa salah satu penyebab munculnya dinasti politik di Indonesia adalah karena sikap tak acuh dari para pemilih. Sebuah survei yang dilakukan oleh Indikator pada akhir Oktober-awal November 2023 mendukung hipotesis bahwa pemilih Indonesia relatif acuh tak acuh dan bahkan toleran terhadap politik dinasti. Perbandingan hasil survei tersebut dengan yang dilakukan oleh Yoes Kenawas pada 2020, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan sebesar 9,2 persen pada jumlah responden yang menyatakan tidak peduli terhadap politik dinasti. Pada saat yang sama, terjadi penurunan sebesar 8,7 persen pada jumlah responden yang menyatakan ‘khawatir’ terhadap politik dinasti. Pergeseran sikap dan toleransi pemilih terhadap politik dinasti sejalan dengan upaya para elit politik untuk menormalisasikan politik dinasti. Empat strategi untuk memperlambat pertumbuhan dinasti politik dan menciptakan lapangan bermain elektoral yang lebih adil, antara lain adalah: memberikan pendidikan politik kepada publik, meningkatkan akses informasi tentang pemilu, mempromosikan kesadaran tentang calon non-dinasti, dan memperkuat pengawasan masyarakat sipil. Teks ini menekankan bahwa pada akhirnya, pemilihlah yang memegang kekuasaan untuk melawan kebangkitan dinasti.

Struktur, Institusi dan Perlawanan Gerakan Sosial

Sesi Kelas Belajar Ilmu Sosial pada 12 Oktober lalu, membahas mengenai “Struktur, Institusi dan Perlawanan Gerakan Sosial.” Sesi diskusi berlangsung dengan mendalami pertanyaan-pertanyaan: Dr. Yoes Kenawas menyampaikan bahwa dikarenakan jangkauan negara tidak sama di setiap daerah, hal ini menyebabkan variasi peluang untuk democratic backsliding. Lalu, apakah democratic backsliding dapat diberhentikan melalui koalisi dengan aparat lokal? Dr. Muhammad Fajar menyatakan bahwa, melalui studinya ia menemukan saat ini ada kecenderungan untuk mengalihkan perjuangan dari level nasional ke level daerah. Advokasi di daerah mendapat tanggapan yang lebih baik dari pemerintah daerah, walaupun secara institusional pemda memiliki ruang yang terbatas untuk mengambil aksi.

Strategi Pertumbuhan Tinggi

Artikel opini A. Prasetyantoko di Kompas Pada 1961 saat Park Chung-hee dilantik menjadi Presiden Korea Selatan, dirinya, dengan latar belakang militer, menerapkan kepemimpinan secara otoriter dengan strategi pembangunan yang dikendalikan negara. Setahun setelah menjabat, ekonomi Korea Selatan tumbuh 7,1%. Park menyatakan, kemiskinan, korupsi, dan komunisme musuh bersama yang menyatukan Korea melalui penerapan kapitalisme yang dipelopori negara (guided capitalism). Menjelang dimulainya kepemimpinan baru di bawah Prabowo Subianto, yang memiliki latar belakang militer dan visi pertumbuhan tinggi, hal ini memicu antusias yang tinggi dari sebagian pihak. Sebagian lainnya khawatir akan hadirnya negara otoriter yang hanya menguntungkan segelintir kelompok. Kunci keberhasilan strategi industri Korsel di bawah Park Chung-hee adalah perencanaan matang dan disiplin tinggi dalam implementasi. Salah satu indikator penting dalam kesuksesan pembangunan kelembagaan, efisiensi ekonomi, serta strategi industrialisasi yang komprehensif adalah soal pemberantasan korupsi. Jika gaya otoriter didampingi dengan korupsi, alih-alih menjadi negara maju, Indonesia akan menjadi negara gagal.

Ekonomi Kosong di Tengah

Sumber dari tulisan A. Prasetyantoko “Ekonomi Kosong di Tengah” Di tengah transisi pemerintahan, muncul berita mengenai berkurangnya jumlah kelas menengah. Fenomena ini hanyalah permukaan dari permasalahan mendasar yang lebih luas, yaitu fenomena ekonomi kosong di tengah. Dalam 5 tahun terakhir, jumlah kelas menengah telah menurun. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa jumlah kelas menengah yang sebelumnya sebanyak 57,33 juta pada 2019, menjadi 47,85 juta pada 2024. Kelompok kelas menengah (middle class) dan kelompok menuju kelas menengah (aspiring middle class) memiliki peran yang krusial secara ekonomi karena kontribusi besarnya pada konsumsi masyarakat yang berdampak pada penerimaan Pajak Pertambahan Nilai. Secara politik, kelas menengah juga memegang peran penting sebagai penyangga demokrasi. Di sisi lain, prioritas kebijakan pemerintah, terutama dalam lima tahun terakhir, tidak mencakup upaya signifikan untuk memperkuat ekonomi kelas menengah. Pola kebijakan yang selama ini terlalu bias pada kelompok atas dan cenderung populis. Dalam kepemilikan aset keuangan, ada ketimpangan yang mana secara jumlah didominasi penabung kecil tetapi secara nominal dikuasai penabung besar yang jumlahnya hanya 0,02 persen dari total penabung. Indikasi lain rapuhnya kelas menengah kita.

Ketimpangan Ekonomi & Kemunduran Demokrasi Indonesia

Atma Jaya Public Policy Forum diadakan oleh Institute of Public Policy untuk menganalisis hubungan antara masalah ekonomi yang tidak merata dan penurunan kualitas demokrasi di Indonesia, berdiskusi untuk menemukan solusi jangka panjang dalam bidang ekonomi, hukum, dan politik yang saling berkaitan, dan menentukan langkah-langkah konkret yang perlu dilakukan untuk memperbaiki kondisi ekonomi, hukum, dan politik. Forum pertama yang berlangsung pada 23 September 2024, mendalami mengenai Ketimpangan Ekonomi dan Kemunduran Demokrasi di Indonesia. Yoes Kenawas, peneliti demokrasi dan dinasti politik di Indonesia, merupakan salah satu panelis dalam sesi pertama forum ini. Ia menyampaikan bahwa dalam 10 tahun terakhir, Indonesia telah mengalami kemunduran demokrasi yang, antara lain, disebabkan oleh penormalisasian praktik politik dinasti.

Pelemahan Demokrasi di Indonesia

Institute for Advanced Research, tiap minggunya mengadakan kelas Kelompok Belajar Ilmu Sosial tiap minggunya yang membahas mengenai tren global pelemahan demokrasi, faktor-faktor yang berkontribusi pada melemahnya demokrasi, bagaimana gerakan sosial merespon tantangan ini, juga strategi dan taktik yang digunakan oleh para aktivis dalam konteks pelemahan demokrasi. Pada 28 September 2024 lalu, sesi kelas membahas mengenai “Dinasti Politik dan Pelemahan Demokrasi di Indonesia”, difasilitasi oleh Yoes Kenawas, peneliti dinasti politik dan demokrasi di Indonesia. Diskusi berlangsung dengan mendalami berbagai pertanyaan seperti Apa yang dimaksud dengan dinasti politik dan politik dinasti? Bagaimana politik dinasti berpengaruh terhadap aspek keterwakilan dalam demokrasi? Bagaimana pertumbuhan dinasti politik di Indonesia dalam 15 tahun terakhir?

The Indonesia Update Conference

Acara yang diselenggarakan oleh The Australian National University’s Indonesia Project, dengan dukungan dari ANU Department of Political and Social Change, juga the Department of Foreign Affairs and Trade, ini membahas jejak yang ditinggalkan Jokowi terhadap ekonomi, kesejahteraan, politik, keamanan, lingkungan, dan hubungan internasional di Indonesia. Berlangsung pada 13-14 September 2024, research fellow IFAR, Yoes Kenawas mempresentasikan mengenai dinasti politik Jokowi. Presentasinya yang berjudul “Jokowi and His Dynasty: Explaining the Ascendancy of the Jokowi Dynasty”, menjawab dua pertanyaan yaitu: Bagaimana Jokowi membangun dinasti politiknya? dan apa persamaan dan perbedaan antara pembuatan dinasti di tingkat subnasional dan nasional? Pola pembentukan dinasti Jokowi di tingkat nasional mirip dengan pola pembentukan dinasti di tingkat subnasional, yaitu dengan melibatkan perubahan kelembagaan, pertemuan kepentingan politisi dinasti dan partai politik, ketidakpedulian pemilih terhadap politik dinasti, dan penyalahgunaan sumber daya negara yang tidak terkendali. Jokowi, dalam membentuk dinasti politiknya, memulai aksinya dengan merubah batasan usia minimum yang melibatkan Ketua MK, Anwar Usman yang merupakan ipar Jokowi dan paman Gibran. Selain itu, Jokowi juga mengeksploitasi ketidakpedulian para pemilih terhadap politik dinasti. Data dari Indikator (2023) membuktikan bahwa mayoritas pemilih tidak peduli terhadap politik dinasti dan tidak menganggap politik dinasti sebagai ancaman bagi demokrasi di Indonesia. Aksi Jokowi ini telah menormalisasikan praktik korupsi yang bertentangan dengan cita-cita demokrasi dan Reformasi ’98.