Fenomena kekerasan seksual terhadap perempuan telah merambah teknologi metaverse. Baru-baru ini, seorang pengguna Horizon Worlds di Inggris, platform virtual reality yang dikembangkan oleh Meta Platforms, dilaporkan mengalami tekanan psikologis berkepanjangan setelah karakter digital yang dimainkannya di platform tersebut menjadi korban pemerkosaan oleh beberapa karakter virtual milik pengguna lain. Kasus ini segera menjadi perhatian penegak hukum di Inggris, sekaligus memantik diskursus lebih luas tentang kemungkinan membuka peluang regulasi terhadap bentuk-bentuk kekerasan seksual virtual yang dilakukan di platform-platform berbasis extended reality.

Studi-studi berkenaan dengan regulasi kekerasan seksual terhadap  perempuan di metaverse memang baru muncul belakangan ini. Sebuah studi yang membahas relevansi hukum pidana tradisional terhadap fenomena kekerasan seksual di dunia virtual, seperti perkosaan virtual dan pedofilia virtual, mengangkat keterkaitan antara dampak kerugian aktual yang ditimbulkan dari perilaku kekerasan yang terjadi secara virtual (Brenner, 2008). Studi lain mengusulkan agar aturan hukum pidana bukan menjadi satu-satunya cara dalam mengatur perbuatan tidak menyenangkan di dunia virtual, di mana tata kelola arsitektur desain teknologi metaverse dapat menjadi cara lain dalam mencegah interaksi yang mengarah kepada disrupsi terhadap privasi dan otonomi tubuh virtual pengguna metaverse (Zytko dan Chan, 2023).

Melihat perkembangan tersebut, Institute of Public Policy Atma Jaya melakukan studi mengenai kemungkinan memperluas jangkauan regulasi kekerasan seksual untuk mencakup perbuatan-perbuatan yang dilakukan secara virtual, seperti melalui perangkat haptic technology dalam teknologi-teknologi berbasis virtual reality. Pertanyaan mendasar dari studi ini melihat sejauh mana format regulasi yang ada dapat menjadi justifikasi untuk melakukan penghukuman terhadap kekerasan seksual virtual. Selain itu, studi ini juga hendak menjelajahi kemungkinan format regulasi baru yang secara efektif dapat mengontrol perilaku kekerasan virtual terhadap perempuan di metaverse, seperti desain teknologi, pengendalian pasar, hingga reformasi budaya hukum. 

Studi kekerasan seksual di metaverse ini juga mendalami kasus-kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang pernah diputus di pengadilan. Berbekal pada wawancara dan analisis putusan terhadap kurang lebih 100 putusan KBGO, studi ini ingin melihat bagaimana lanskap hukum pidana melihat kekerasan seksual memaknai teknologi dan kekerasan seksual: apakah KBGO dilihat semata-mata sebagai kekerasan yang difasilitasi teknologi (technology-facilitated crimes) atau telah mempertimbangkan KBGO sebagai ‘realitas baru’ yang muncul sebagai konsekuensi penciptaan teknologi-teknologi baru? Jawaban atas pertanyaan ini penting ditelusuri untuk mengembangkan sejumlah rekomendasi pengaturan terhadap teknologi dan kemungkinan melakukan reformulasi kebijakan eksisting, sehingga hukum dapat merespon perkembangan teknologi yang cepat.

Penulis: Miftah Fadhli  (Research Fellow)