Demokrasi Indonesia dewasa kini tidak lepas dari dinasti politik yang bertolak belakang dengan prinsip reformasi. Dinasti politik dianggap sebagai dampak dari lemahnya pelembagaan partai politik dan tidak berjalannya fungsi partai politik. Hal tersebut menimbulkan kecenderungan menguatnya kekerabatan dalam birokrasi yang kerap dikenal sebagai nepotisme. Pasalnya, pemilik parta partai bisa saja lebih mengutamakan kerabatnya dibanding calon lain yang lebih kompeten.
Kekerabatan dalam jejaring politik di pemerintahan berpotensi memudahkan lolosnya kepentingan predatoris sehingga kesempatan politik dan ekonomi tidak terbagi secara relatif adil untuk masyarakat. Dinasti Politik membuka ruang dan melapangkan jalan terjadinya korupsi. Hingga saat ini terdapat enam dinasti politik yang terlibat dalam pusaran korupsi. Keenam dinasti politik itu adalah Dinasti Ratu Atut Chosiyah di Banten, Syaukani Hassan Rais di Kutai Kartanegara, Atty Suharti di Cimahi, Fuad Amin Imron di Bangkalan, Sri Hartini di Klaten, dan Yan Anton Ferdian di Banyuasin.
Sejatinya, akan selalu ada dinasti politik dalam tubuh demokrasi Indonesia. Setiap warga Indonesia memiliki hak untuk mencalonkan diri bahkan sebagai presiden sekalipun, termasuk seseorang yang memiliki kerabat di pemerintahan. Bisa dikatakan, praktik dinasti politik adalah wujud dari aji mumpung atau privilese yang dimiliki seseorang. Hal ini dapat menyebabkan kekuasaan hanya berpusat pada keluarga (dinasti) tertentu.
Institute of Public Policy Unika Atma Jaya berkolaborasi dengan LP3ES akan mengadakan Brownbag Discussion: Menuju 2024: “Politik Dinasti Tak Berbatas?”
Narasumber:
- Yoes C. Kenawas – Ph.D. Candidate Northwestern University
- Bangkit A. Wiryawan – LP3ES
Moderator:
- Lya Anggraini – LP3ES