Kuliah Umum Jeffrey Winters: Kondisi Terkini Demokrasi Indonesia

Jakarta, 11 April 2019 – Atma Jaya Institute of Public Policy (AJIPP) mengadakan kuliah akademik umum bertema “An Update on Indonesian Democracy”, dengan mengundang Jeffrey Winters. Adapun moderator untuk sesi tersebut adalah Yoes C. Kenawas, visiting research fellow di AJIPP, yang sedang mengambil gelar Ph.D di Northwestern University. Sebentar lagi Indonesia akan menyelenggarakan pesta demokrasi untuk memilih pemimpin Bangsa ini. Pemilihan umum kali ini adalah keempat kalinya Indonesia secara langsung memilih presiden dan wakil presiden. Sebelumnya, presiden dan wakil presiden Indonesia dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Hal ini merupakan loncatan besar dalam demokrasi Indonesia. Lima belas tahun berselang dari pemilu pertama, bagaimana keadaan demokrasi di Indonesia? Dengan maksud menjawab pertanyaan tersebut, Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atma Jaya menyelenggarakan kuliah akademik umum dengan mengundang Jeffrey Winters sebagai narasumber. Jeffrey Winters adalah Chair of the Department of Political Science dari Northwestern University. Winters mendalami bidang oligarki, demokrasi, dan ketidaksetaraan. Beliau terutama tertarik dengan kondisi politik di Indonesia dan Amerika Serikat. Kuliah akademik umum tersebut diadakan secara terbuka, dua minggu menjelang pemilu 2019. Dalam kuliah tersebut Winters memaparkan pandangannya mengenai kondisi oligarki dan demokrasi di Indonesia.
Berebut Generasi Digital

Oleh : Edbert Gani Alumnus The London School of Economics and Political Science, Inggris Direktur Atma Jaya Institute of Public Policy Salah satu daya tarik utama Pemilihan Umum 2019 ada di sekitar 85 juta pemilih muda, atau kurang lebih 45 persen dari total pemilik hak suara. Kami yang berada dalam rentang usia 18-36 tahun sering disebut sebagai pemilih milenial. Tak pelak, kata “milenial” mengalami inflasi dalam diskusi politik hari-hari ini. Karakteristik yang sering disematkan kepada kelompok ini antara lain adaptif dengan teknologi, melek digital, menyukai budaya pop, individualistis, dan narsisistik. Sayangnya, ciri khas ini masih disikapi para aktor politik sebagai kemasan semata, bukan substansi untuk mengirimkan pesan-pesan melalui kampanye. Alih-alih mencoba meraup dukungan generasi ini, mereka justru antipati terhadap kelompok pemilih tersebut. Maka tak aneh jika selisih elektabilitas pasangan calon presiden-wakil presiden, Joko Widodo-Ma‘ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, justru stagnan tiga bulan menjelang hari pemilihan. Meskipun stagnasi terjadi di hampir semua kelompok usia, kelompok milenial terlihat makin apatis. Penyebabnya, antara lain, polarisasi politik yang kian tajam di antara kedua kubu dan kejenuhan atas perdebatan politik yang minim kualitas. Survei Indikator Politik Indonesia memperlihatkan lebih dari 60 persen publik mengaku kurang tertarik atau tidak tertarik sama sekali pada masalah politik. Sebuah angka yang cukup mencengangkan apabila kita percaya bahwa media sosial sesungguhnya berpotensi menjadi sarana komunikasi politik yang efektif dan sebagian besar pemilih punya akun media sosial. Kedua poros politik saat ini perlu menyikapi secara serius persoalan tersebut apabila mereka tidak ingin angka pemilih yang tak memilih alias golput, terutama di kalangan muda, meningkat. Setidaknya ada dua hal yang perlu kita evaluasi bersama untuk menggairahkan kembali politik pemilihan, yaitu dari segi perspektif yang digunakan dalam melihat kelompok milenial serta strategi kampanye digital. Sebagian besar pemilih milenial yang akan mencoblos pada 17 April 2019 telah mencicipi pemilihan sebelumnya, baik di level daerah maupun di tingkat nasional. Sebagian kecil kelompok ini adalah pemilih pemula, yakni hanya 5 juta atau 6 persen. Maka pemilih milenial, yang umumnya kelompok terdidik, sudah memiliki kapasitas untuk mengevaluasi setiap calon berdasarkan pengalaman. Tim kedua calon mesti memikirkan tema kampanye yang bisa menggaet mereka agar bersedia datang ke bilik suara. Fakta membuktikan, generasi milenial adalah aktor ekonomi di berbagai industri. Agaknya unsur ini masih diabaikan tim kedua kandidat karena tema-tema kampanye masih berputar di sekitar kemasan, bukan program. Mereka bahkan cenderung menganggap pemilih muda sebagi aktor politik yang tak tahu apa-apa. Ironisnya, politikus muda yang terjun ke dunia politik praktis malah terbawa arus politikus tua, yang sangat kurang menyajikan konten politik mencerdaskan. Tak ada, misalnya, kampanye substantif tentang kebutuhkan riil pemilih muda seperti ketersediaan lapangan pekerjaan, ekosistem bisnis, dan ruang terbuka bagi akses wawasan serta kreativitas. Padahal tak sedikit pemilih milenial adalah keluarga muda yang membutuhkan kepastian masa depan yang ditentukan oleh keputusan politik. Mereka bukan lagi penonton, melainkan kelas ekonomi utama yang akan menopang bonus demografi. Optimisme ekonomi ke depan sangat penting bagi pemilih dari kelompok ini ketimbang klarifikasi berbagai sensasi politik. Selain itu, kita dan para kator politik tanpa sadar terlalu memaksakan karakteristik milenial kelas menengah perkotaan (urban middle-class millennials) sebagai cerminan pemilih muda secara keseluruhan. Lebih dari itu, perkotaan dalam paradigman mereka yang tecermin dalam diskusi publik mengacu pada satu-dua kota besar saja. Kebutuhan kelompok milenial perkotaan berbeda dengan di perdesaan. Bahkan, meskipun sama-sama tinggal di perkotaan dan memakai smartphone, kaum milenial Jakarta memiliki kebutuhan yang jauh berbeda dibanding mereka yang ada di kota-kota di Sumatera, Kalimantan, atau Papua. Karena itu, sensitivitas pada isu-isu daerah tetap perlu untuk meraih suara kalangan milenial secara nasional. Lebih dalam lagi, keyakinan tim calon presiden yang mengerahkan pendengung (buzzer) di media sosial untuk mempengaruhi preferensi penghuninya perlu dipertanyakan. Apakah generasi milenial yang memakai Twitter, misalnya, akan terpengaruh oleh keriuhan percakapan yang mendominasi trending topic? Pengamatan saya di platform ini justru menemukan ketidaksinambungan sebuah topik populer dengan pengetahuan publik akan isu tersebut di lapangan secara umum. Sebut saja pelaku Twitter “asyik sendiri”. Keasyikan sendiri itu menular ke pembahasan di televisi. Para aktof politik dan redaksi menganalisis percakapan Twitter tentang tim mana yang menguasi tanda pagar tertentu. Padahal, berkaca pada besaran penggunanya, Twitter adalah platform minoritas dari sekian banyak media sosial yang populer di Indonesia. Hasil survei Indikator Politik Indonesia yang dirilis pada 8 Januari 2019 menunjukkan hanya 2 persen dari populasi pengguna Internet yang setiap hari atau hampir setiap hari membuka Twitter. Bahkan 89 persen responden mengaku tidak pernah memakainya. Dari data di atas terlihat bahwa meletakkan Twitter sebagai representasi percakapan digital masyarakat kita menjadi tidak relevan. Ini belum memasukkan unsur pengurangan jumlah user yang merupakan bot atau akun palsu. Terlebih apabila kita masih bergantung pada alat atau mesin deteksi yang dibeli dari perusahaan-perusahaan penyedia analisis media sosial dari negara lain yang memiliki bias tinggi terhadap bahasa percakapan dan minim pemahaman konteks politik nasional. Kepala tim digital Donald Trump pada pemilihan umum Amerika Serikat 2016, Brad Parscale, dalam sebuah wawancara di televisi mengungkapkan bahwa strategi yang ia pakai untuk menggaet pemilih di Internet adalah berfokus pada kelompok silent majority. Kelompok ini adalah pemakai media sosial yang tidak suka berdebat tentang sebuah topik atau tidak aktif memberikan komentar, tapi mereka menyimak isu-isu politik secara saksama. Kubu Demokrat Amerka pada waktu itu terkecoh dengan terlalu asyik meladeni cuitan provokatif Donald Trump sehingga luput memantau kebutuhan swing voter yang berada di Favebook dengan lebih dari 200 juta pengguna aktif per bulan – satu tingkat lebih banyak dari pemakai Facebook Indonesia yang berjumlah 130 juta dengan 84 juta di antaranya berusia milenial. Di luar soal sisi negatif pemakaian Facebook yang efektif menyebarkan berita bohong oleh kubu Trump, taktik mereka mendekati “pemilih diam” ini layak diperhatikan. Di Indonesia, upaya membidik kelas menengah milenial melalui media sosial perlu diimbangi dengan distribusi konten yang mencerdaskan. Kemenangan Emmanuel Macron di Prancis, atau dukungan anak muda kepada Partai Buruh Inggris, adalah contoh positif yang bisa kita ambil. Di Indonesia, keunggulan Jokowi mendapat suara dari kelompok milenial sekitar 52 persen sejauh ini menunjukkan respons positif pemilih muda terhadap kebijakan pemerintah. Karena itu, tim kampanye inkumben seharusnya memastikan sosialisasi kebihakan dan capaian ekonomi pemerintah yang berpengaruh langsung pada kelas ekonomi
Brownbag Discussion IPP Unika Atma Jaya: Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Adalah Fokus Bersama
Bonus demografi yang sekarang kita nikmati bisa menjadi keuntungan bagi ekonomi namun dapat pula menjadi beban ekonomi. Karena itu diperlukan program yang jelas untuk meningkatkan daya saing sumber daya manusia terutama generasi muda. Jakarta, 22 Maret 2019 — Atma Jaya Institute of Public Policy (IPP) baru-baru ini menyelenggarakan diskusi yang melibatkan empat caleg dari generasi milenial. Keempatnya berasal dari empat partai politik yang berbeda. Mereka diantaranya Faldo Maldini, politisi PAN, Dedek Prayudi, politisi PSI, Khobbab Heryawan, politisi PKS, dan Puteri Komarudin, politisi Golkar. Selain mereka, panel diskusi yang lain adalah Andina Dwifatma, Dosen Ilmu Komunikasi Unika Atma Jaya, dan Edbert Gani Suryahudaya, Direktur Atma Jaya Institute of Public Policy (AJIPP). Adapun moderator diskusi ini ialah Indro Adinugroho, dosen Fakultas Psikologi, Unika Atma Jaya. “Bonus demografi sudah mulai dari 2015 di Indonesia (menurut BPS). Puncaknya ada di tahun 2035. Hal ini bisa menjadi window of demographic disaster (meroketnya angka kriminal), atau menjadi window of opportunity (ketika mau investasi yang banyak pada sumber daya manusia). Hasilnya tidak bisa langsung dirasakan. Yang behasil contohnya RRC dan Korea. Kuncinya adalah pemberdayaan perempuan, pemberdataan pemuda, dan penghapusan pekerja anak,” papar Dedek ‘Uki’ Prayudi, politisi PSI. Dari diskusi tersebut tersimpulkan bahwa fokus dalam menunjang kualitas sumber daya manusia, khususnya generasi milenial maupun generasi Z yang akan menjadi subjek pembangunan di era bonus demografi adalah tanggungjawab seluruh pihak. Adapun dari survei AJIPP terhadap kaum muda perkotaan, sebesar 63% menjawab yakin dapat bersaing secara global. Keyakinan tersebut perlu disambut dengan program-program yang bisa menyasar langsung pada minat dan bakat dari kaum muda. “Jadi negara industri. Basis knowledge. Bikin wadah. Berikan insentif untuk perusahaan yang memakai sumber daya dari rumah siap kerja,” papar Faldo Maldini, politisi PAN. “Pemerintah, sistem, sekarang hanya untuk menghindari disaster,” papar Khobbab Heryawan, politisi PKS. Selain fokus pada generasi muda di perkotaan, diskusi ini juga turut menyuarakan kepentingan membangun sumber daya manusia di daerah pedesaan. “Industri, yang daritadi kita bicarakan sudah masuk di RPJMN. Daritadi fokus kita ke kota, bagaimana dengan yang rural? Seperti misalnya dana desa, ini sudah bagus sekali. Selain itu tidak perlu juga saya rasa yang muda punya gagasan baru. Sekarang kebijakan yang bagusjuga sudah ada, kalo dilanjutin bisa maksimum. Yang penting kolaborasi muda dan tua.” Papar Puteri Komarudin, politisi Golkar. Selain itu, berkaitan dengan bonus demografi, berbagai program yang sedan atau akan dilaksanakan pemerintah perlu memperhatikan beberapa soal fundamental ekonomi. “Banyak tantangan yang perlu dihadapi agar bonus demografi bisa dimanfaatkan dengan baik. Bagaimana cara menarik sektor informal jadi formal? Hubungannya agar jaminan sosial bisa lebih mengakomodir tenaga kerja. Lalu keperluan riset dan inovasi untuk menciptakan lapangan kerja baru, apa insentif yang akan diberikan ke perusahaan yang melakukan itu? Hal-hal ini yang perlu kita minta programnya ke partai politik dan calon penguasa,” papar Edbert Gani Suryahudaya, Direktur AJIPP. “Kalo mau merangkul milenial, kasih dong regulasi yang mendukung milenial,” ujar Andina Dwifatma, Dosen Ilmu Komunikasi, Unika Atma Jaya. Acara dapat diakses di: https://www.youtube.com/watch?v=plgXX938wE4
In defence of Indonesias dull presidential debates
Indonesian democracy throws up many contrasts. The public have repeatedly shown that they have little faith in the key pillars of democracy, such as political parties and the House of Representatives. Yet public trust in democracy itself remains high, and turnout in elections remains strong. How do we explain this puzzle? Scholars suggest several factors are essential to the survival and deepening of democracy, for example, the presence of formal democratic institutions, accountability and transparency in democratic processes, and a consensus among elites to respect elections and democratic process as the only legitimate channels for changing leaders. In countries like Indonesia, where liberal democratic values have been eroding significantly over recent years, the repetitive performance of democratic “rituals” is crucial.The regular displays of these rituals help to shape the identity of Indonesian citizens — who are mostly sidelined during non-election periods — as members of a democratic society. This constructed identity, in turn, provides legitimacy to Indonesia’s electoral democracy. One of the most important rituals – beyond the elections themselves – is the regular presidential debates. But before we examine the debates in greater detail, it is important to take a closer look at the health of Indonesian democracy. Paradoxes in Indonesian democracy On the one hand, the public has a low level of trust toward pillars of Indonesia’s democracy. According to a survey by Charta Politika in 2018 in eight major cities in Indonesia, only 32.8 per cent of respondents said they trusted political parties, compared to 45.8 per cent who did not trust them. Further, in another survey by Charta Politika in 2019, only 0.6 per cent of respondents said that political parties had demonstrated good performance, and only 3.8 per cent said that the House of Representatives (DPR) was performing well. Other key pillars of democracy, such as the Supreme Court and the Regional Representatives Council (DPD), also ranked lowly. Only the office of president received a relatively high appreciation rate. The lack of connection between voters and parties is also concerning – only 19.5 per cent of respondents said they identified with a political party. Corruption by legislative and party members(link is external) is one cause of the low public trust toward political parties and the DPR. Indonesia’s electoral process is also flawed. Money politics and distribution of patronage(link is external) are common in both national and subnational elections. Meanwhile, the KPU is struggling with hoaxes and fake news(link is external) and constant bickering with the Elections Monitoring Body (Bawaslu)(link is external). These problems could cause public trust to further deteriorate. On the other hand, despite the low level of public trust of democratic institutions, the Indonesian electorate is highly supportive of democracy. A recent survey by the Indonesian Institute of Sciences (LIPI)(link is external) showed 73 per cent of respondents thought that democracy was the best system for the country, while 82 per cent said they believed Indonesia could be considered democratic. Turnout in national and regional elections is also comparatively high. In 2014, turnout in legislative and presidential elections was 75.1 per cent and 69.6 per cent, respectively. Likewise, in the 2018 simultaneous regional elections, average voter turnout was 73.24 per cent. Although turnout has been declining, it is still higher than many other democracies, including advanced ones like the United States. Presidential debates The presidential debates play an important role in maintaining these positive results. The KPU scheduled five televised presidential debates in this election season. They cover the most pressing issues in Indonesia, from the economy, to human rights, education, health, and terrorism. In each debate, candidates present their ideas on at least four general topics. For example, in the third debate on 17 March, the vice presidential candidates, Ma’ruf Amin and Sandiaga Uno, discussed their programs on education, health, human resources, and socio-cultural issues. Each debate lasts for about two hours, including breaks between sessions. Typically, each candidate has four minutes to present an opening statement on a particular topic. This is followed by an approximately eight-minute long session, during which each candidate must answer a question from a panel of experts, as well as comment on the opponent’s answer. When the time is up, the debate moves on to the next topic. In the third session, candidates are allowed to question their opponent about policies or plans to tackle certain issues. Finally, each candidate delivers a closing statement. Each debate presents a series of rituals, including singing the national anthem, reminders about the rules for the candidates and their supporters, a speech from the head of the KPU, and the repeated display of sealed envelopes containing the questions set by a panel of experts, to reinforce the transparency, accountability, and neutrality of the KPU. In the first two debates, the candidates selected the number of the envelope containing questions they would then answer, much like a beauty pageant. Given the limited time available for the discussion of complex issues, an apparent unwillingness to engage in fierce criticism, and the “unnecessary” rituals and debate policies set by the KPU, the first three debates disappointed many pundits and activists. Observers argue that the debates have lacked substance – the candidates did not exchange arguments but merely restated “old and recycled” policy rhetoric. As scholar Budi Irawanto said, the debates were “uninteresting, stiff, and scripted”. Public screenings Despite these disappointments, the debates remain necessary for the maintenance of Indonesia’s electoral democracy. The unnecessary rituals, the rather naïve rhetoric by the KPU chairman, the question and answer and debate sessions, and the public discussions after each debate all help to shape the identity of Indonesian people as members of a democratic society, however illusory that democratic identity may be. They create a sense of excitement and belonging in the electorate. Voters, however, are not passive recipients of these performative acts. The debates are important because for a brief moment during the long election season, voters feel that they are engaged in democracy. Many voters anticipate each debate, what the candidates will say, how
Transformasi Organisasi pada Era Milenial
Refleksi Karya “Transformasi Organisasi pada Era Milenial” diselenggarakan di Auditorium Gedung Yustinus lantai 15, Kampus 1 Semanggi Unika Atma Jaya. Kegiatan yang bertepatan dengan Dies Natalis Unika Atma Jaya ke-58 ini menghadirkan Ignasius Jonan (Menteri ESDM dan Dewan Penyantun Atma Jaya) sebagai keynote speaker, Mgr. Ignatius Suharyo (Uskup Agung Jakarta), dan Dr. Agustinus Prasetyantoko (Rektor Unika Atma Jaya) selaku moderator. Peserta dari acara ini adalah civitas academica Unika Atma Jaya mulai dari dosen, karyawan, beberapa perwakilan organisasi mahasiswa, dan tamu undangan guru dari beberapa sekolah-sekolah yang ada di sekitar Jakarta. Dalam kegiatan ini, para hadirin dapat belajar bagaimana struktur organisasi (termasuk di universitas) telah berubah pada zaman milenial ini, dan bagaimana mahasiswa dan tenaga pengajar dapat beradaptasi dengan perubahan ini dan mempelajari bagaimana mengubah gagasan-gagasan menjadi tindakan-tindakan nyata di dalam kerangka organisasi untuk memajukan diri mereka sendiri dan juga apa yang mereka ingin perjuangkan. “Yang paling penting dalam keorganisasian adalah apa yang kita dapat, kita miliki, kita pelajari, dan itu bisa diubah menjadi aksi yang jelas.” – Ignasius Jonan, Menteri ESDM Indonesia
Survei Atma Jaya Sebut Politisasi Agama Perburuk Demokrasi

TEMPO.CO, Jakarta – Survei Atma Jaya Institute of Public Policy memaparkan sebanyak 60 persen kaum muda perkotaan di Jabodetabek, Bandung, dan Surabaya menganggap kualitas demokrasi di Indonesia buruk. Temuan mereka menyebut milenial merasa politisasi agama menjadi alasan utama buruknya kualitas demokrasi. “Politisasi isu agama menjadi alasan nomor satu, dengan 45 persen, disusul hoax 22 persen, korupsi 17 persen, dan radikalisme 11 persen,” kata Ketua IPP, Edbert Gani, di kampus Atma Jaya, Semanggi, Kamis 28 Februari 2019. Menurut data yang dipaparkan IPP, kaum muda perkotaan juga tidak percaya terhadap partai politik dan politisi. Dari 1.388 responden, 767 tidak percaya terhadap partai politik, dan 217 sangat tidak percaya terhadap parpol. Sebanyak 728 responden tidak percaya terhadap politisi dan 201 orang mengatakan sangat tidak percaya. Ketidakpercayaan kepada politisi, kata salah seorang peneliti IPP, Indro Adinugroho, salah satunya terjadi karena politisi kerap berpindah-pindah haluan. “Distorsi kognitif yang diciptakan oleh politisi dengan berpindah-pindah haluan, berpotensi mencederai kepercayaan kaum muda terhadap politisi,” ujar dia. Meski menyatakan tidak puas, hasil survei IPP mengatakan responden mengaku demokrasi baik diterapkan di Indonesia. Alasannya, 32 persen responden mengatakan dengan demokrasi dapat memperoleh keterbukaan informasi, 28 persen menyebut dapat berpartisipasi dalam pemilihan umum, dan 26 persen beralasan memiliki kebebasan berpendapat. Adapun sebanyak 72 persen responden mengaku akan tetap berpartisipasi dalam pemilu tahun 2019 ini. Sebanyak 50 persen menjawab yang menarik dari politik adalah soal kebijakan publik, dan 27 persen menyebut debat terbuka. Survei ini diselenggarakan selama tiga bulan sejak November 2018 – Januari 2019, melalui platform daring, dengan fokus di tiga kota yakni Jabodetabek, Bandung, dan Surabaya. Dengan 1.388 responden, yang dipilih menggunakan teknik sampling purposive sampling (non-random). Sumber: https://nasional.tempo.co/read/1180478/survei-atma-jaya-sebut-politisasi-agama-perburuk-demokrasi
Pandangan Kaum Muda Perkotaan terhadap Demokrasi pada Tahun Politik 2019

Atma Jaya Institute of Public Policy (AJIPP) telah mengadakan sebuah survei dengan 1.388 responden anak muda dari Jabodetabek, Bandung, dan Surabaya. Survei ini merupakan hasil kerja sama AJIPP dengan Fakultas Psikologi dan Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Ilmu Komunikasi Atma Jaya. Tujuannya adalah untuk mengetahui persepsi kaum milenial dan generasi Z terhadap demokrasi. Hasil survei ini menunjukkan bahwa 65% responden merasa mutu demokrasi di Indonesia termasuk buruk dan sangat buruk. Ketika ditanyakan lebih lanjut, 45% dari responden tersebut merasa penyebabnya adalah politisasi agama, sementara 22% menyalahkan hoax, 17% korupsi, dan 11% radikalisme. Keterangan selengkapnya bisa diunduh di pranala berikut: http://wwwprev.atmajaya.ac.id/filecontent/ipp-Rilisrisetpandangankaummillenialperkotaan.pdf
Membentuk Generasi Inovatif, Peduli, dan Berkarakter Berdasarkan pada Kearifan Lokal dan Berorientasi Global
Revolusi teknologi yang berkembang pesat di dunia memberikan dampak terhadap seluruh aspek kehidupan, termasuk pendidikan. Perguruan tinggi harus berkembang sesuai dengan kebutuhan generasi milenial pada era globalisasi. Selain dari aspek keilmuan, karakter mahasiswa juga harus dibentuk agar siap dalam menghadapi tantangan global. Maka dari itu, diperlukan karakter yang inovatif dan peduli lingkungan dengan orientasi global sembari memasukan unsur-unsur kearifan lokal. Unika Atma Jaya bekerja sama dengan Kemenristek Dikti dalam mengadakan seminar pendidikan bertajuk “Membentuk Generasi Inovatif, Peduli, dan Berkarakter Berdasarkan pada Kearifan Lokal dan Berorientasi Global.” Diskusi pendidikan dan pembelajaran ini dibawakan oleh Prof. H. Mohamad Nasir, Ph. D., Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Negara Republik Indonesia (Menristekdikti RI). Acara ini juga menghadirkan Meidyatama Suryodiningrat selaku Direktur Utama Kantor Berita Antara, Even Elex Chandra selaku Head of Public Policy and Government Relation Bukalapak.com, serta Elizabeth Rukmini, Ph. D selaku Wakil Rektor IV Unika Atma Jaya Jakarta. Acara ini dimoderatori oleh George Martin Sirait, Ph. D, selaku dosen dari Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Ilmu Komunikasi (FIABIKOM) Unika Atma Jaya Jakarta.
Mendorong Kebijakan Fiskal yang Sehat, Adil, dan Mandiri oleh Menteri Keuangan
Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah untuk mengelola serta mengarahkan kondisi ekonomi melalui pengendalian pengeluaran dan penerimaan negara. Kebijakan tersebut akan membantu pemerintah untuk memperoleh pendapatan secara maksimal. Selain itu, melalui kebijakan semacam ini, pendapatan tersebut dapat diarahkan agar terserap maksimal pada program pemerintah dengan tujuan mendongkrak perekonomian nasional dan menjaga keseimbangan ekonomi. Untuk itu, peranan masyarakat sangat penting dalam mengawal kebijakan fiskal mulai dari persiapan anggaran, persetujuan legislatif, pelaksanaan anggaran, peninjauan, hingga proses audit. Peningkatan angka partisipasi masyarakat tersebut diharapkan dapat membantu memastikan agar anggaran negara bisa tepat sasaran. Untuk berbagi pengalaman dalam menerapkan kebijakan fiskal yang sehat, adil, dan mandiri, Unika Atma Jaya mengundang Menteri Keuangan Sri Mulyani. Di bawah kepemimpinannya, pemerintah Indonesia berhasil melejitkan pendapatan pajak negara dan menekan inflasi. Pemerintah juga mampu menurunkan angka kemiskinan hingga di bawah 10%.
Ekonomi Pasar Sosial Jerman pada Zaman Globalisasi
Jerman sebagai salah satu negara yang memiliki kekuatan ekonomi yang besar di dunia menerapkan sistem ekonomi pasar sosial yang menggabungkan sistem ekonomi kapitalis dan kebijakan sosial, sehingga menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat dan persaingan yang sehat dalam pasar. Hal ini tentunya mengilhami Indonesia untuk bekerja sama dalam mewujudkan ekonomi pasar sosial di Indonesia. Maka dari itu, Unika Atma Jaya mengundang Menteri Ekonomi dan Energi Jerman, Peter Altmaier, untuk memberikan kuliah umum bagi mahasiswa-mahasiswi dengan topik “Ekonomi Pasar Sosial Jerman pada Zaman Globalisasi”. Unika Atma Jaya adalah satu-satunya universitas di Jakarta yang dikunjungi oleh beliau dalam agendanya untuk menghadiri Konferensi Asia Pasifik Bisnis Jerman ke-16. “Kita semua pasti tahu bahwa Jerman adalah salah satu negara dengan kekuatan ekonomi yang besar bukan hanya di Eropa tapi juga di dunia, pertama karena peran teknologi yang mendukung produktivitas industri dan stabilitas ekonomi. Kedua karena peran masyarakat, sehingga kita bisa melihat keseimbangan antara industrialisasi, adopsi teknologi tinggi, dan pembangunan sosial,” tutur Rektor Unika Atma Jaya Dr. A. Prasetyantoko dalam sambutannya. “Bagi Atma Jaya, kesempatan ini merupakan kehormatan bagi kami untuk dapat belajar langsung dari pengalaman Jerman yang telah berhasil melakukan perubahan secara teknologi, sosial, dan globalisasi,” paparnya. Menanggapi hal tersebut, Menteri Ekonomi dan Energi Jerman, Peter Altmaier menegaskan akademisi adalah harapan bagi Indonesia, yang mengubah dunia, mengubah struktur baru dalam masyarakat, mereformasinya menjadi lebih modern, mendorong pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, serta menjamin perdamaian dan pembangunan keberlanjutan untuk masa depan bagi jutaan manusia. Kerjasama antara Pemeirintah Jerman dan Indonesia merupakan kesempatan untuk bersama-sama menjawab tantangan ke depan seiring pertumbuhan jumlah penduduk dunia dan harapan pemerataan standar kehidupan yang layak. “All of you, you are the hope of the century, you will be the people who will transform the world, you will be the people who will change the direction, creating economic growth, creating jobs, creating peace and sustainability” – German Federal Minister for Economic Affairs and Energy, Peter Altmaier